Al-Ashl,
yang hukumnya telah disebut dalam nash,kadang-kadang
mengandung beberapa sifat dan kekhususan. Tetapi, tidak semua sifat yang ada
padanya itu patut dijadikan illat hukumnya. Sifat yang menjadi illah
hukum asal itu diharuskan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan ulama Ushul
dalam kaitannya dengan penyelidikan terhadap illat-illat yang telah
ditetapkan dalam nash, di samping dalam rangka memelihara definisi illat
dan tujuan yang menjadi maksud pembentukan illat yang dapat dipersamakan
dengan al-far’ (cabang). Sebagian syarat-syarat tersebut telah menjadi
kesepakatan ulama Ushul, bahwa syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi sebagai syarat
illat. Namun sebagian syarat lainnya, tidak disepakati oleh beberapa
ulama sebagai syarat illat.
Berikut
ini dikemukakan syarat-syarat illat yang telah disepakati ulama Ushul,
yang terdiri dari 4 macam:
a.
Illat itu merupakan sifat nyata, yang bisa dijangkau panca indera secara
lahir. Sebab, illat adalah yang memberikan batasan hukum pada cabang (المعرف للحكم في الفرع).
Dengan demikian, ia harus merupakan sesuatu yang nyata dan bisa terjangkau
wujudnya.
Misalnya,
soal memabukkan yang bisa dirasakan oleh indera pada minuman yang memabukkan
lainnya. Misal lain, tentang ukuran jenis benda yang sama, keduanya dapat
diukur dengan rasa pada jenis benda-benda riba yang enam macam. Dan rasa
tersebut, wujudnya dapat terlihat secara nyata pada harta lain yang ukurannya
bisa dipastikan. Karena itulah, tidak pantas menentukan illat dengan hal
yang tak jelas atau samar-samar dan tak dapat diraba dengan alat indera
lantaran tidak dapat membuktikan ada atau tidak adanya.
Keadaan
telah baligh (dewasa) illat-nya bukan karena ia sudah sempurna
akal, tetapi illat-nya dugaan yang tampak, yaitu pencapaian umur 15
tahun, atau adanya tanda-tanda baligh atau salah satu tanda baligh
sebelum usia 15 tahun.
b.
Illat itu merupakan sifat yang pasti atau tertentu dan terbatas, serta
dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasi atau lantaran
adanya sedikit perbedaan. Sebab, dasar kias adalah samanya cabang dan asal pada
illat hukum asal. Kesamaan illat ini dituntut secara pasti dan
terbatas sehingga penentuan hukum dapat diambil bahwa dua kejadian itu
mempunyai kesamaan illat.
Misalnya,
pembunuhan secara sengaja yang dilakukan ahli waris terhadap muwaris.
Hal ini merupakan kejadian yang juga bisa terjadi pada pembunuhan yang
dilakukan oleh orang yang diberi wasiat terhadap orang yang memberi wasiat.
Atau
mengenai penyiksaan yang dilakukan seseorang atas jual beli dengan orang lain.
Hakekatnya adalah pasti yang juga bisa terjadi dalam sewa menyewa antara seseorang
dengan orang lain.
Dengan
demikian, memberikan illat dengan sifat-sifat yang tidak pasti adalah
tidak sah, lebih-lebih bila illat itu berbeda secara jelas, seperti
perbedaan keadaan dan karakteristiknya. Karenanya, boleh tidak puasa pada bulan
Ramadhan pada penderita sakit atau seorang musafir tidak berdasarkan illat
karena akan mendapat kesulitan, namun justru sebaliknya illat dengan
tempat dugaan, ialah musafir atau sakit.
c.
Illat itu harus ada sifat yang sesuai, yaitu adanya dasar asumsi dalam
mewujudkan hikmah hukum. Hal ini mengandung arti adanya hubungan hukum dengan
sifat itu, baik sifat itu ada atau tidak ada, harus diwujudkan dengan tujuan
pembuat hukum dalam kaitannya dengan hukum yang dibentuk, apakah membawa
maslahat atau akan menolak mafsadah. Sebab, hakekatnya yang memberikan
motivasi dan yang menjadi tujuan pembentukan hukum adalah aspek hikmah. Dengan
kata lain, jika semua hukum mengandung hikmah secara pasti dan nyata, maka
hikmah itu merupakan illat hukum. Sebab, hikmah itulah yang memberika
motivasi pembentukan hukum.
Namun,
lantaran hikmah pada sebagian hukum itu sifatnya tidak pasti dan tidak nyata,
maka sebagai gantinya adalah sifat-sifat nyata dan pasti yang sesuai dengan
hikmah tersebut. Meski demikian, menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai illat
tidak dibenarkan. Di samping itu, hikmah juga tidak ditempatkan pad afungsi
hukum melainkan illat hukum itu sebagai tempat dugaan bagi
hikmah-hikmah.
Karena
itu, masalah memabukkan merupakan sifat yang sesuai dengan haramnya khamr.
Sebab, dalam keharamannya itu terkandung maksud pemeliharaan akal fikiran.
Pembunuhan secara sengaja dan penganiayaan adalah sangat sesuai dengan
keharusan adanya balasan atau hukuman qishash. Sebab, nilai qishash
itu sendiri mengandung upaya pemeliharaan umat manusia. Perbuatan mencuri
sangat sesuai dengan keharusan dihukum potong tangan bagi pelakunya, baik
laki-laki maupun wanita. Sebab, potong tangan itu sendiri mengandung upaya
pemeliharaan terhadap kekayaan umat manusia.
d.
Illat itu harus tidak merupakan sifat terbatas pada asal artinya. Illat
itu harus bersfiat bisa diwujudkan pada beberapa karkateristik, dan bisa
dijumpai pada selain asal. Sebab, tujuan pemberian illat hukum asal itu
akan dijangkaukan kepada cabang. Karenanya, jika hukum itu diberi illat
yang tidak terdapat pada selain asal, maka dengan sendirinya tidak bisa
dijadikan dasar kias. Karenanya, hukum-hukum khusushiyyah yang hanya
berlaku pada Rasulullah yang illat-nya adalah Rasulullah, dengan
sendirinya tidak bisa dikiaskan.
Di
samping itu, memberi illat bagi haramnya khamr lantaran khamr itu
merupakan perasan anggur, juga tidak bisa, atau tidak sah.
--------------------------------
Sumber: Ilm Ushuul Al-Fiqh karya Syaikh Dr. Abdul Wahab Khalaf
No comments:
Post a Comment