Monday, March 11, 2013

FIQH SYAFI’I (01 - Thaharah) – 03 Air Suci Dan Musta’mal Bag I (Raudhah Ath-Thalibin)




Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:


{ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا}

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Q.S. Al-Furqan: 48)









الْمُطَهِّرُ لِلْحَدَثِ وَالْخَبَثِ مِنَ الْمَائِعَاتِ، الْمَاءُ الْمُطْلَقُ خَاصَّةً، وَهُوَ الْعَارِي عَنِ الْإِضَافَةِ اللَّازِمَةِ. وَقِيلَ: الْبَاقِي عَلَى وَصْفِ خِلْقَتِهِ.

Benda cair yang dapat digunakan menyucikan hadats dan najis adalah air mutlak secara khusus. Air mutlak adalah air yang terlepas dari ifadhah (tambahan atau ikatan) yang tetap. Dikatakan: air mutlak adalah air yang tetap dengan sifat aslinya.


وَأَمَّا الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ، فَطَاهِرٌ، وَلَيْسَ بِطَهُورٍ عَلَى الْمَذْهَبِ. وَقِيلَ: طَهُورٌ فِي الْقَدِيمِ.

Adapun air yang telah dipergunakan untuk bersuci dan hadats (musta’mal) adalah suci, namun tidak menyucikan menurut madzhab Asy-Syafi’i. Dikatakan: Ia adalah suci dan menyucikan menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i yang lama.


وَالْمُسْتَعْمَلُ فِي نَقْلِ الطَّهَارَةِ، كَتَجْدِيدِ الْوُضُوءِ، وَالْأَغْسَالِ الْمَسْنُونَةِ، وَالْغَسْلَةِ الثَّانِيَةِ، وَالثَّالِثَةِ، وَمَاءِ الْمَضْمَضَةِ، طَهُورٌ عَلَى الْأَصَحِّ. وَأَمَّا مَا اغْتَسَلَتْ بِهِ كِتَابِيَّةٌ عَنْ حَيْضٍ لِتَحِلَّ لِمُسْلِمٍ، فَإِنْ قُلْنَا: لَا يَجِبُ إِعَادَةُ الْغُسْلِ إِذَا أَسْلَمَتْ، فَلَيْسَ بِطَهُورٍ. وَإِنْ أَوْجَبْنَاهَا - وَهُوَ الْأَصَحُّ - فَوَجْهَانِ، الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِطَهُورٍ.

Air musta’mal  dalam pemindahan penyucian, seperti memperbaharui wudhu, mandi sunnah, basuhan kedua dan ketiga, dan air setelah digunakan berkumur adalah suci menyucikan (thahuur) menurut beberapa pendapat yang lebih shahih.
Adapun air yang dipergunakan mandi oleh perempuan ahli kitab agar dirinya halal bagi seorang pria muslim, jika kita katakan bahwa dia tidak wajib mengulangi mandinya, maka air ini tidak suci menyucikan (tidak thahuur), namun jika kita katakan bahwa dia wajib mengulanginya (dan ini adalah pendapat yang lebih shahih), maka ada dua pendapat menurut pengikut madzhab Syafi’i, yang menurut pendapat lebih shahih air tersebut tidak suci mensucikan.


وَمَا تَطَهَّرُ بِهِ لِصَلَاةِ النَّفْلِ، مُسْتَعْمَلٌ، وَكَذَا مَا تَطَهَّرُ بِهِ الصَّبِيُّ عَلَى الصَّحِيحِ. وَالْمُسْتَعْمَلُ الَّذِي لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، لَا يُزِيلُ النَّجَسَ عَلَى الصَّحِيحِ. وَالْمُسْتَعْمَلُ فِي النَّجَسِ إِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ طَاهِرٌ، لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ عَلَى الصَّحِيحِ.

Air yang dipergunakan bersuci untuk shalat sunnah adalah musta’mal. Begitu juga yang dipergunakan oleh anak kecil, sesuai dengan pendapat yang shahih. Air musta’mal yang tidak dapat menghilangkan hadats juga tidak dapat menghilangkan najis menurut pendapat yang shahih. Air bekas menyucikan najis apabila kita katakan itu suci, ia tetap tidak dapat menghilangkan hadats menurut pendapat yang shahih.

وَلَوْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ، عَادَ طَهُورًا فِي الْأَصَحِّ، كَمَا لَوِ انْغَمَسَ جُنُبٌ فِي قُلَّتَيْنِ، فَإِنَّهُ طَهُورٌ بِلَا خِلَافٍ. وَلَوِ انْغَمَسَ جُنُبٌ فِيمَا دُونَ قُلَّتَيْنِ حَتَّى عَمَّ جَمِيعَ بَدَنِهِ، ثُمَّ نَوَى، ارْتَفَعَتْ جَنَابَتُهُ بِلَا خِلَافٍ، وَصَارَ الْمَاءُ فِي الْحَالِ مُسْتَعْمَلًا بِالنِّسْبَةِ إِلَى غَيْرِهِ عَلَى الصَّحِيحِ. وَمُقْتَضَى كَلَامِ الْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُنْغَمِسِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْهُ، وَهُوَ مُشْكِلٌ. وَيَنْبَغِي أَنْ يَصِيرَ مُسْتَعْمَلًا لِارْتِفَاعِ الْحَدَثِ.

Jika air musta’mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka dia kembali suci menyucikan (thahuur) menurut pendapat yang lebih shahih. Sebagaimana orang junub yang menyelam dalam air dua qullah, airnya adalah tetap suci menyucikan menurut pendapat yang lebih shahih sesuai dengan kesepakatan para ulama.
Jika orang junub menyelam dalam air yang kurang dari dua qullah hingga seluruh tubuhnya di dalam air, lalu ada niat, maka janabahnya hilang seketika tanpa ada perselisihan ulama. Namun airnya seketika menjadi musta’mal bagi orang lain menurut pendapat yang shahih. Sedangkan menurut pendapat yang lebih shahih, air tersebut tidak menjadi musta’mal bagi dirinya sendiri sehingga ia keluar darinya. Seharusnya air tersebut menjadi musta’mal karena hilangnya hadats.

قُلْتُ: وَإِذَا جَرَى الْمَاءُ مِنْ عُضْوِ الْمُتَوَضِّئِ إِلَى عُضْوٍ، صَارَ مُسْتَعْمَلًا، حَتَّى لَوِ انْتَقَلَ مِنْ إِحْدَى الْيَدَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى، صَارَ مُسْتَعْمَلًا، وَفِي هَذِهِ الصُّورَةِ وَجْهٌ شَاذٌّ مَحْكِيٌّ فِي بَابِ التَّيَمُّمِ. مِنَ (الْبَيَانِ) أَنَّهُ لَا يَصِيرُ، لِأَنَّ الْيَدَيْنِ كَعُضْوٍ.

Aku (Imam An-Nawawy) berkata:
Jika air mengalir dari anggota tubuh orang yang berwudhu menuju anggota yang lain, maka air ini menjadi musta’mal, bahkan jika berpindah dari salah satu tangan menuju tangan lain juga menjadi musta’mal. Dalam masalah ini terdapat pendapat pengikut madzhab Syafi’i yang aneh (wajh syadz) yang diriwayatkan dalam bab tayamum dari kitab Al-Bayan, yaitu air tersebut tidak menjadi musta’mal karena kedua tangan adalah seperti satu anggota tubuh.


Sumber: RAUDHAH ATH-THALIBIN, Imam An-Nawawy, Pustaka Azzam
Penerjemah: H. Muhyiddin Mas Rida, H. Abdurrahman Siregar dan H. Moh Abidun Zuhri
Artikel ini disusun oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment