Monday, January 13, 2014

Kajian Bulughul Maram – Hadits 23 (Haramnya Memakan Keledai)

Kajian Bulughul Maram – Hadits 23

وَعَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى:  «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ [الْأَهْلِيَّةِ] , فَإِنَّهَا رِجْسٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dan darinya (Anas bin Malik), dia berkata: “Kala perang Khaibar, Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam memerintahkan Abu Thalhah untuk menyeru, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai jinak, karena ia adalah rijs (kotor).”

Kosakata Hadits

{ خَيْبَرَ} : Adalah suatu kawasan di sebelah utara Madinah, berjarak sekitar 60 km. Kawasan Khaibar dulu didiami oleh sekelompok orang Yahudi, kemudian pada tahun ke-7 H, Nabi Muhammad melakukan ekspedisi ke kawasan tersebut. Sekarang ia menjadi kawasan yang ramai; memiliki pemerintahan, jawatan-jawatan umum dan sebagian muslim.

{ يَنْهَيَانِكُمْ } : Dhamiir tatsniyah kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.

{ لُحُومِ } : Bentuk jamak dari lahm. Al-Lahm adalah bagian dari tubuh hewan, dan bagian yang berurat lembut di antara kulit dan tulang pada burung.

{ الْحُمُرِ } : Dengan harakat dhammah, bentuk jamak dari himaar; yakni hewan jinak dari jenis kuda yang digunakan untuk mengangkut barang atau sebagai tunggangan.

{ الْأَهْلِيَّةِ } : Bentuk muannats dari al-Ahl. Ia adalah lawan kata ‘liar’.

{ رِجْسٌ } : Bentuk jamaknya adalah arjaas, maksudnya kotoran yang diharamkan.

Faedah-faedah dari Hadits

Sunday, January 12, 2014

Kajian Bulughul Maram – Hadits 22

Kajian Bulughul Maram – Hadits 22

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ الْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا? قَالَ: «لَا». أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anh, dia berkata: Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka. Beliau berkata: “Tidak” Dikeluarkan oleh Muslim.

Kosakata Hadits

{  الْخَمْر } : Sesuatu yang memabukkan dari perasan anggur dan yang lainnya. Ia dinamakan khamr karena mengacaukan akal dan menutupinya.
{  خل} : Sesuatu yang asam dari air perasan anggur dan lainnya.
{ لا } : Huruf nafi. Ia memiliki 3 bentuk, di antaranya sebagai jawab yang bertolak belakang dengan kata “ya”.

Faedah-faedah dari Hadits

Monday, July 15, 2013

Pembagian Ulama Umat dan Siapakah 'Ulil Amri'?

DAKWAH kepada Allah dan menyampaikan sunnah Rasul-nya merupakan syiar bagi golongan yang beruntung (para ulama) dan para pengikutnya, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik"." [Q.S. Yusuf: 108]

Yakni mereka yang menyampaikan apa-apa yang datang dari Rasulullah berupa penyampaian kata-kata (dan maknanya), perbuatan dan ketetapan beliau. Berdasarkan hal itu, ulama dibagi menjadi 2 golongan:

[PERTAMA] = AHLI HADITS

Mereka adalah pemelihara hadits yang menjaga dan memelihara, serta mengamalkannnya. Mereka adalah para imam dan pemuka-pemuka agama Islam yang memelihara pondasi-pondasi agama dan ajarannya dari penyelewengan dan perubahan isinya. Mereka adalah golongan yang disebutkan Imam Ahmad dalam khutbahnya yang terkenal ketika membantah golongan Zindiq dan Jahmiyyah.

[KEDUA] = AHLI FIQH

Sunday, March 17, 2013

FIQH SYAFI’I (01 - Thaharah) – 04 MACAM-MACAM AIR



Ada 4 macam air: suci lagi menyucikan, suci lagi menyucikan tapi makruh, suci tidak menyucikan, dan air najis.

1. Suci Menyucikan

Air yang masuk kategori “suci menyucikan” adalah air pada umumnya dan keadaannya masih seperti kali pertama diciptakan. Pengertian “pada umumnya” terlepas dari berapa lama air tergenang, bercampur dengan tanah atau bukan, serta sudah ditumbuhi teratai atau belum. Teratai adalah tumbuhan air yang terapung, berkembang biak pada air yang lama tergenang. Termasuk pula di dalamnya air yang berubah karena berada di tempat tertentu, atau melewati suatu lokasi tertentu. Misalnya, air yang berada atau melewati kawasan tanah berbatu bara. Semua ini tidak bisa menjadi patokan karena tidak mungkin menjaga air dari kondisi semacam itu.

Sucinya air mutlak berdasarkan hadits riwayat Bukhary dan lainnya dari Abu Hurairah. Seorang Arab Badui bangkit dan buang air kecil di masjid. Orang-orang pun ramai-ramai hendak menegurnya, tapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Air "Mutanajjis" dalam Madzhab Syafi'i

Air mutanajjis adalah air yang sudah kena najis. Ada dua jenis air mutanajjis.

Pertama, air yang kadarnya sedikit. Pengertiannya, air yang kapasitasnya kurang dari dua qullah. Begitu najis masuk ke dalamnya, air ini langsung disebut air mutanajjis –sekalipun najisnya sedikit dan ciri-cirinya sebagai air tidak berubah, seperti warna, aroma, dan rasa. Ukuran dua qullah adalah 500 liter Baghdad, yang setara dengan 192, 857 kg. Ukuran kubiknya, 1,25 hasta (panjang, lebar dan tinggi). Satu hasta yakni sepanjang dari ujung ke siku (orang dewasa).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ‘Aku mendengar ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang hukum air yang terletak di tanah tak bertuan, air lain yang diminum oleh binatang buas dan melata. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

" إذَا كَانَ الماءُ قلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَث "

Jika kadarnya dua qullah, tak mengandung najis.” Dalam riwayat Abu Daud berbunyi " فَإَّنهُ لا يَنْجُسُ " (Air itu tak bernajis). (H.R. Abu Daud, no. 65, Tirmidzy, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Air "Suci Tak Menyucikan" dalam Madzhab Syafi'i

Air ‘suci tak menyucikan’ ini ada 2 jenis:

Pertama, air bekas pakai bersuci, seperti air bekas mandi dan berwudhu.

Dalil bahwa air ini suci adalah riwayat yang dikemukakan oleh Bukhary dan Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anh bercerita, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang menjengukku ketika aku sakit parah sehingga tak sadarkan diri. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berwudhu dan menyiramkan air bekas wudhunya kepadaku.” (H.R. Bukhary, no. 191, dan Muslim, no. 1616)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentu tidak akan menyiramkan air bekas wudhunya pada Jabir apabila air tersebut tidak suci.

Air "Suci Menyucikan Tapi Makruh" dalam Madzhab Syafi'i



Air yang ‘suci menyucikan tapi makruh’ adalah yang dijemur di bawah sinar matahari. Ada 3 syarat untuk kemakruhannya:

a. Terletak di negeri tropis
b. Diletakkan di atas wadah berbahan non emas atau perak, seperti besi dan tembaga, serta semua bahan yang berbunyi jika diketuk (قابل للطرق)
c. Digunakan untuk tubuh manusia; atau hewan yang terkena penyakit sopak (البرص) seperti kuda.

Imam Syafi’i menukil sebuah riwayat dari Umar radhiyallahu anh yang menyebutkan bahwa ia tidak suka menggunakan air itu untuk mandi. Beliau menjelaskan,

ولا أكره الماء المشمس إلا من جهة الطب

“Aku tidak suka air yang dijemur hanya karena alasan kesehatan.”
 Beliau juga meriwayatkan bahwa air itu menyebabkan timbulnya penyakit sopak, suatu penyakit kulit.








Sumber: Al-Fiqh Al-Manhajy, Musthafa Al-Bugha, Musthafa Al-Khann dan Ali Asy-Syurbajy
Penerjemah: Misran, Lc
Diketik oleh Hasan Al-Jaizy dari buku Fikih Manhaji, Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i, Darul Uswah