An-Nasa’i menuturkan:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ شُرَيْحٍ أَنَّهُ
كَتَبَ إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُهُ فَكَتَبَ إِلَيْهِ أَنْ اقْضِ بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي سُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاقْضِ بِمَا قَضَى بِهِ الصَّالِحُونَ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقْضِ بِهِ الصَّالِحُونَ فَإِنْ شِئْتَ فَتَقَدَّمْ
وَإِنْ شِئْتَ فَتَأَخَّرْ وَلَا أَرَى التَّأَخُّرَ إِلَّا خَيْرًا لَكَ وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُم
Telah
mengabarkan pada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata: Telah menceritakan
pada kami Abu Aamir, telah menceritakan pada kami Sufyan dari Asy-Syaibaany
dari Asy-Sya’by dari Syuraih:
Bahwasanya
Syuraih menulis surat kepada Umar menanyakan suatu masalah. Maka Umar
menjawabnya lewat surat sebagai berikut:
“Putuskanlah
masalah itu dengan Kitabullah. Bila hal itu tidak terdapat dalam Kitabullah,
maka putuskanlah memakai Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Apabila hal itu juga tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka putuskanlah dengan keputusan-keputusan yang
telah dipakai oleh orang-orang saleh terdahulu. Apabila juga masih belum
ditemukan masalah itu dalam tiga jenis rujukan tadi, maka terserahlah kepada
kamu, apakah kau ingin segera memutuskan hal itu dengan ijtihadmu atau kau
hendak tangguhkan. Dan kurasa lebih baik kau menangguhkan. Wassalamualaikum.”[1]
Umar juga sering mengubah
pendiriannya setelah mengerahui Sunnah Rasul. Seperti yang diriwayatkan Imam
Syafi’i:
أخبرنا سفيان عن الزهري عن سعيد بن المسيب " ان عمر بن الخطاب
كان يقول الدية للعاقلة ولا ترث المراة من دية زوجها شيئا حتى أخبره الضحاك بن سفيان
أن رسول الله كتب إليه أن يورث امرأة أشيم الضبابي من ديته فرجع إليه عمر.
Telah mengabarkan kepada kami
Sufyan, dari Az-Zuhry, dari Sa’id bin Al-Musayyab, “Bahwasanya Umar bin
Al-Khattab pernah mengatakan, “Diyat (ganti rugi dalam masalah kriminal)
itu untuk ahli waris yang berhak bagian sisa, dan istri tidak dapat menerima diyat
suaminya.” Setelah kemudian diberitahu oleh Adh-Dhahhak bin Sufyan bahwa
Rasulullah pernah mengirimkan surat kepadanya agar istri Asyyam Adh-Dhabbaby diberi bagian diyat
suaminya, Umar pun mencabut pendapatnya (ruju’).[2]
Sufyan
bin Amir juga menuturkan bahwa ia mendengar Bijalah mengatakan, ‘Semula Umar
tidak mau memungut jizyah (pungutan dari orang kafir), namun setelah
diberitahu oleh Abdurrahman bin Auf bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memungut hal itu dari orang majusi Hajar, ia pun melakukannya.’[3]
[1]
H.R. An-Nasaa’I, no.5304 (sanadnya sahih), Ad-Darimy, I/60, Al-Baihaqy dalam As-Sunan
Al-Kubra, X/115
[2] Ar-Risalah,
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, hal. 426
[3] Ar-Risalah,
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, hal. 430
------------------------------------------------------
Sumber: Diraasat fi Al-Hadiits
An-Nabawy wa Taariikh Tadwiinih, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami
Dengan bantuan terjemah oleh
Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, M.A.
Ditulis dan ditata ulang oleh
Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment