Setiap
qiyas, terdiri dari 4 rukun:
- Al-Ashl (الأصل), ialah: ما ورد بحكمه نص , yaitu: ‘sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash’. Biasa disebut sebagai Al-Maqiish Alaih (المقيس عليه), yaitu ‘yang dipakai sebagai ukuran’, atau Al-Mahmuul Alaih (المحمول عليه), yaitu ‘yang dituju dari pembawaan, atau Al-Musyabbah Bih (المشبه به), yaitu ‘yang dipakai sebagai penyerupaan’.
- Al-Far’ (الفرع), ialah: ما لم يرد بحكمه نص ويراد تسويته بالأصل في حكمه , yaitu: ‘sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-Ashl’. Biasa disebutAl-Maqiis (المقيس), yaitu ‘yang diukur’, atau Al-Mahmuul (المحمول), yaitu ‘yang dibawa’, atau Al-Musyabbah (المشبه), yaitu ‘yang disamakan’.
- Hukm Al-Ashl (حكم الأصل) ialah: الحكم الشرعي الذي ورد به النص في الأصل، ويراد أن يكون حكما للفرد , yaitu: ‘hukum syara’ yang terdapat nash-nya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang. (al-far’).
- Al-Illah (العلة), ialah: الوصف الذي بنى عليه حكم الأصل وبناء على وجوده في الفرع يسوى بالأصل في حكمه , yaitu: ‘sifat/keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al-far’) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya’.
Meminum khamr adalah asal, karena
hukumnya tersebut dalam nash, yakni kalimat { فَاجْتَنِبُوهُ }: “Maka,
jauhilah”. Larangan tersebut menunjukkan haram minum khamr karena ada illat
memabukkan. Kemudian, arak yang terbuat dari kurma adalah cabang, karena nash
hukum tersuratnya tidak ada. Tetapi arak kurma dengan khamr mempunyai
kesamaan dalam hal memabukkan. Karena itulah arak kurma dan khamr
disamakan dalam hal haramnya.
Enam macam benda berikut juga asal,
yakni: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma,
dan garam. Karena ada nash yang mengharamkan. Kemudian, riba
al-fadhl (ربا الفضل)
dan riba an-nasii’ah (ربا
النسيئة), jika masing-masingnya dijual dengan yang sejenisnya lantaran
ada illat bahwa benda-benda tersebut bisa ditimbang dan dipastikan
ukuran dan takarannya dengan jenis yang sama. Mengenai jagung, padi dan kacang,
serta kedelai adalah cabang karena hukumnya tidak terdapat dalam nash,
tentang bisa dipastikannya dengan ukuran, karena hukumnya disamakan dengan
benda-benda yang tersebut di atas ketika benda-bendar itu saling ditukarkan.
Dua rukun yang pertama tersebutkan, al-ashl
dan al-far’, merupakan dua
kejadian atau dua tempat atau hal. Yang pertama (al-ashl) ada nash
yang menunjukkan suatu hukum, sedang yang kedua (al-far’) tidak ada nash
yang menunjukkan suatu hukum. Pada dua rukun tersebut tidak disyaratkan dengan
beberapa syarat, kecuali hukum ashl (asal) itu tetap dengan nash.
Sedangkan cabang (al-far’), hukumnya belum ditetapkan dalam nash
tidak pula melalaui ijma’, dan tidak ada penghalang untuk menyamakan
rukun-rukun tersebut dalam hal hukumnya.
Mengenai rukun ketiga, yakni Hukm
Al-Ashl (hukum asal), ketika seseorang menyamakan hukum cabang harus
dibarengi dengan beberapa syarat. Sebab, tidak seluruh hukum syara’ yang
terdapat dalam nash mengenai suatu kejadian dapat disamakan dengan
kejadian lain melalui al-qiyas. Hukum yang disamakan kepada cabang
dengan jalan kias itu harus memenuhi syarat-syarat:
[1] Merupakan hukum syara’ amaliyyah
yang ditetapkan nash. Mengenai
hukum syara’ amaliyyah yang ditetapka ijma’, maka dalam hal
menyamakan hukumnya kepada cabang ada dua pendapat:
a. Menyamakannya tidak sah. Pendapat ini
merupakan pendapat yang layak dianggap benar. Sebab ijma’ itu harus
disertai dengan hukum yang telah disepakati dasarnya. Dan orang yang merubah
tempat bersandanya hukum tidak bisa mempersamakan illat hukumnya.
Karenanya, tidak mungkin melakukan kias terhadap hukum yang sudah menjadi
kesepakatan, atau Ijma’ menurut istilah Ahli Ushul.
b. Menyamakannya adalah sah. Asy-Syaukany
mengatakan, pendapat ini adalah pendapat yang paling benar di antara dua
pendapat yang ada. Mengenai hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan
kias, maka dianggap tidak sah mempersamakannya. Sebab, jika cabang melalui
kias, illat-nya menyamakan sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya
berarti menyamai suatu kejadian yang terdapat nash-nya. Dan hukum
sesuatu yang disamakan dengan jalan kias adalah hukum nash. Dan jika illat-nya
tidak sama, maka menyamakan hukumnya pun tidak sah. Dengan demikian, tidak
tepat bila dikatakan, haramnya arak yang terbuat dari buah apel dikiaskan
kepada arak kurma yang ketetapan hukumnya dikiaskan dengan khamr lantaran arak
apel itu jika memabukkan berarti menyamai mabukny arak kurma, yang berarti
menyamakan mabuknya khamr, dan bukan kepada arak kurma. Bila tidak dalam
memabukkannya, tentulah tidak akan sama dalam hal haramnya.
[2] Illat yang ada pada hukum asal
itu hendaknya dapat terjangkau akal. Sebab, kalau akal tidak bisa mengetahui illat-nya,
berarti tidak bisa melakukan persamaan dengan jalan kias. Hal ini lantaran
dasar daripada kias adalah diketahuinya illat hukum asal, dan mengetahui
perwujudan illat dalam cabang. Syarat-syarat ini dikemukakan lantaran
hukum-hukum syara’ amaliyyah disyari’atkan untuk kemaslahatan umat
manusia, di samping karena illat dijadikan dasar hukum.
Jadi, hukum tidak disyari’atkan tanpa
adanya illat. Namun demikian, perlu diketahui bahwa hukum dapat dibagi
menjadi dua macam:
- Hukum-hukum yang menurut Allah tidak penting diketahui illat-nya, dan Allah tidak membuka jalan untuk diketahui illat-illat itu bermaksud menguji hamba-Nya apakah mereka taat dan melakukan, sekalipun mereka belum dapat menemukan illah yang dijadikan dasar hukum? Hukum-hukum tersebut dikenal ta’abbudiyyah atau ghairu ma’quulah al-ma’na. Sebagai contoh, mengenai batasan bilangan rakaat pada shalat 5 waktu, batasan nishab zakat harta kekayaan yang sudah diwajibkan, ukuran yang wajib ditunaikan, jumlah had, dan kafarat, bagian faraidh mengenai harta pusaka dan lain-lain.
- Hukum-hukum atau syariat Allah yang perlu diketahui illat-nya. Bahkan, akal pikiran diarahkan untuk memahami illat itu dengan menggunakan nash atau dalil sebagai acuan. Hukum-hukum ini disebut hukum-hukum ma’quulah al-ma’na. Maksudnya adalah hukum yang dapat menyamakan hukum asal kepada yang lain dengan jalan kias. Hal itu dikenal sebagai hukum asal (hukum yang bukan pengecualian dari hukum kully). Misalnya, haramnya minum khamr dapat mempersamakan minum apa saja yang memabukkan dengan jalan kias. Selainnya, haramnya riba pada jenis gandum dan sya’ir bisa disamakan dengan jagung melalui jalan kias. Atau hukum-hukum yang dikecualikan dari hukum-hukum kully, seperti meringankan jual beli atau al-araya (العرايا), yang merupakan pengecualian dari jual beli sejenis dengan cara berlipat-lipat dan bisa disamakan dengan jalan kias kepada jual beli anggur dengan anggur atau anggur kering. Atau ketika seseorang melakukan puasa dan lupa sehingga makanan masuk ke dalam perut yang merupakan pengecualian bagi batalnya puasa, kemudian disamakan dengan jalan kias makanan seseorang yang berpuasa karena lupa atau terpaksa. Bahkan masalah seseorang yang melakukan shalat tetapi lupa berbicara.
Karenanya,
sahnya mempersamakan hukum asal ialah hukum yang ma’quul al-ma’na tidak
berbeda, apakah hukum itu asal atau hukum itu dikecualikan dari hukum kully.
Kemudian, jika hukum itu ghairu ma’quul al-ma’na, maka hukum itu asal
atau hukum pengecualian.
Karenanya,
tidak ada kias dalam urusan ibadah dan hadd, termasuk dalam hal
pembagian waris dan bilangan rakaat.
[3] Hukum asal yang tidak di-takhshiish
(dikhususkan), karena jika hukum asal itu dikhususkan berarti tidak bisa
disamakan kepada lainnya dengan jalan kias.
Hukum asal yang tidak dikhususkan itu ada
dua:
- Jika illat hukum itu tidak diketahui bentuknya pada selain asal. Misalnya, melakukan qashar shalat bagi musafir. Hukum ini termasuk ma’quul al-ma’na lantaran terkandung maksud menolak kesusahan. Namun illat-nya adalah bepergian (safar). Sedang safar itu tidak bisa ditemukan bentuknya pada selain bepergian. Juga mengenai bolehnya mengusap khuffain, termasuk hukum ma’quul al-ma’na. Dalam hukum tersebut ada dua unsur meringankan atau memberi kelonggaran. Illatnya adalah memakai khuffain, yang bisa ditemukan pada selain pemakaian khuffain tersebut.
- Jika dalil menunjukkan kekhususan hukum asal. Misalnya hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Rasulullah lantaran ada dalil yang memberi petunjuk. Contoh konkrit bolehnya Rasulullah menikahi wanita lebih dari 4 orang, dan tidak boleh (haramnya) imat Islam menikahi istri-istri Nabi setelah beliau wafat. Juga cukupnya seorang saksi, yaitu persaksian Huzaimah bin Tsabit yang didasarkan pada sabda beliau, Siapa saja yang disaksikan Huzaimah, sudahlah cukup.” Berdasarkan nash tersebut dalam Al-Qur’an, dan As-Sunnah, kawin lebih dari 4 orang istri tidak diperbolehkan. Istri yang ditinggal mati oleh suami, diperbolehkan melangsungkan pernikahan lagi setelah selesai iddah-nya. Dalam hal persaksian, harus ada dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita.
Karenanya, hal-hal yang disebutkan
terdahulu merupakan dalil-dalil hukum yang khusus berlaku bagi Nabi dan
Huzaimah.
Rukun yang keempat, adalah illat.
Rukun ini merupakan rukun terpenting lantaran illat merupakan dasar
adanya kias, yang pembahasannya merupakan bagian terpenting.
Illat kias itu banyak, namun dapat diringkaskan meliputi definisi
llat, syarat-syarat, pembagian dan jalannya illat.
-------------------------------------------
Sumber: Ilm Ushuul Al-Fiqh, karya Abdul Wahhab Khalaf
dengan bantuan pengalihan bahasa oleh K.H. Masdar Helmy
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy
salam tuan.. mohon repost artikelnya
ReplyDelete