Hal-Hal yang Termasuk Najis
Hal-hal
yang terdapat dalil atas kenajisannya adalah:
1.
Air kencing dan
2.
Kotoran manusia
Adapun
dalil najisnya kotoran manusia adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى فَإِنَّ
التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ.
“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak al-adzaa (najis) dengan sandalnya,
maka tanah adalah penyucinya.”[1]
Al-Adzaa adalah segala sesuatu yang engkau
merasa tersakiti olehnya, seperti najis, kotoran, batu, duri, dan sebagainya.[2] Dan yang dimaksud dalam
hadits tersebut adalah najis, sebagaimana yang tampak jelas.
Sedangkan
dalil (najisnya) air kencing adalah hadits Anas Radhiyallahu anhu :
“Seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu segolongan orang menghampirinya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Biarkanlah ia,
jangan kalian hentikan kencingnya.’” Anas melanjutkan, “Tatkala ia sudah
menyelesaikan kencingnya, beliau memerintahkan agar dibawakan setimba air lalu
diguyurkan di atasnya."[3]
3.
Madzi, dan
4.
Wadi
Madzi, yaitu cairan putih (bening), encer,
dan lengket yang keluar ketika naiknya syahwat. Dia tidak keluar dengan
syahwat, tidak menyembur, dan tidak pula diikuti lemas. Terkadang keluar tanpa
terasa. Dialami pria maupun wanita.[4]
Madzi adalah najis. Oleh karena itulah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh membasuh kemaluan darinya.
‘Ali
Radhiyallahu anhu berkata, “Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi.
Aku malu menanyakannya pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena
kedudukan puteri beliau. Lalu kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk
menanyakannya.
Beliau
lantas bersabda:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.
‘Dia
harus membasuh kemaluannya dan berwudhu.’”[5]
Sedangkan
wadi adalah cairan putih (bening) dan kental yang keluar setelah
kencing.[6]
Wadi adalah najis.
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Mani, wadi, dan madzi.
Adapun mani, maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi,
beliau (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ
لِلصَّلاَةِ.
‘Basuhlah
dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat.’”
[7]
5.
Kotoran (hewan) yang tidak (halal) dimakan dagingnya
Dari
‘Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam hendak buang hajat, beliau berkata, ‘Bawakan aku tiga
batu.’ Aku menemukan dua batu dan sebuah kotoran keledai. Lalu beliau mengambil
kedua batu itu dan membuang kotoran tadi lalu berkata:
هِيَ رِجْسٌ.
“(Kotoran)
itu najis.” [8]
6.
Darah haidh
Dari
Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Seorang wanita
datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Baju
seorang di antara kami terkena darah haidh, apa yang harus ia lakukan?’
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ
ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ.
“Keriklah,
kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu.” [9]
7.
Air liur anjing
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersabda:
طَهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ
أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ.
“(Cara)
menyucikan bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah
membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan tanah.” [10]
8.
Bangkai
Yaitu
segala sesuatu yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا دُبِغَ اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.
“Jika
(al-ihaaab) telah disamak, maka sucilah ia.” [11]
Al-ihaaab adalah kulit hewan yang telah mati
(bangkai). Dikecualikan dari hal ini:
Pertama
: Bangkai ikan dan jangkrik.
Dasarnya
adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: أَمَّا الْمَيْتَتَانِ
فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فْالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
“Dihalalkan
bagi kita dua bangkai dan dua darah. Kedua bangkai itu adalah ikan dan
jangkrik. Sedangkan kedua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [12]
Kedua
: Bangkai hewan yang tidak berdarah. Seperti lalat, semut, lebah, dan
sebagainya.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ
كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي اْلآخَرِ
شِفَاءً.
“Jika
seekor lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka
benamkan semua lalu buanglah ia. Karena pada salah satu sayapnya terdapat
penyakit, sedangkan pada sisi lainnya terdapat penawar.” [13]
Ketiga
: Tulang bangkai, tanduk, kuku, rambut dan bulunya.
Semuanya
suci, merujuk pada keasliannya, yaitu suci. Dasarnya hadits yang diriwayatkan
al-Bukhari secara mu’allaq.[14] Dia mengatakan bahwa
az-Zuhri berkata tentang tulang bangkai -seperti gajah dan sebagainya-, “Aku
mendapati beberapa kalangan ulama terdahulu bersisir dan berminyak dengannya.
Mereka tidak mempermasalahkannya.”
Hammad
berkata, “Tidak ada masalah dengan bulu bangkai.”
[1] Shahih:
Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 834), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul
Ma'buud) (II/47 no. 381).
[2] Aunul
Ma'buud (II/44).
[3]
Muttafaq 'alaihi: Shahiih Muslim (I/246 no. 284), ini adalah lafazhnya. Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/449 no. 6025), secara ringkas
[4] Syarh
Muslim, karya an-Nawawi (III/213)
[5]
Muttafaq 'alaihi: Shahiih Muslim (I/247 no. 303), ini adalah lafazhnya. Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/230 no. 132), Mukhtashar.
[6] Fiqh
As-Sunnah (I/24)
[7]
Shahih: Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 190)], dan al-Baihaqi (I/115).
[8]
Shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2530], dan Shahiih Ibni
Khuzaimah (I/39 no. 70). Disebutkan dalam riwayat lain tanpa lafazh
(keledai). Hal ini diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (I/256 no. 156), Sunan an-Nasa-i (I/39), Sunan at-Tirmidzi
(I/13/17), Sunan Ibni Majah (I/114 no. 314).
[9] Muttafaq
'alaihi: Shahiih Muslim (I/240 no. 291), ini adalah lafazhnya. Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/410 no. 307).
[10]
Shahih: Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 3933), dan Shahiih Muslim
(I/234 no. 276 (91)).
[11]
Shahih: Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 511), Shahiih Muslim
(I/277 no. 366), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (XI/181 no.
4105).
[12] Shahih:
Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 210)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani
I/255 no. 96), dan al-Baihaqi (I/254)
[13]
Shahih: Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 837)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (X/250 no. 57, 82), dan Sunan Ibni Majah (II/1159
no. 3505).
[14] (I/342)
--------------------------------------------
Sumber 1: Al-Wajiiz fi Fiqh As-Sunnah, Syaikh Abdul Adziim Al-Badawy
Sumber 2: almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment