Illat
adalah
وصف
في الأصل بني عليه حكمه ويعرف به وجود هذا الحكم في الفرع
“sifat yang terdapat
pada hukum asal, dipakai sebagai dasar hukum, yang denganya dapat diketahui
hukum cabang.”
Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamr,
yang dijadikan sebagai dasar haramnya khamr. Dengan illat itu, maka
dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukkan. Jika seseorang berjual
beli dengan orang lain dan di dalamnya terdapat sifat menganiaya yang dijadikan
dasar untuk mengharamkan. Maka bisa diketahui bentuk sewa menyewa yang
diharamkan.
Demikian
itu merupakan pendapat ulama Ushul yang mengatakan:
العلة
هي المعرف للحكم
“Illat adalah yang
memberikan batasan terhadap hukum”
Dan
illat juga disebut sebagai manaath (مناط) hukum dan
sebabnya.
Hal-hal
yang menjadi kesepakatan Jumhur Ulama adalah bahwa Allah tidak mensyariatkan
hukum melainkan dengan maksud kemaslahatan hamba-Nya. Terkadang, kemaslahatan
itu dapat menguntungkan mereka dan terkadang untuk menghindari bahaya.
Karenanya, motivasi pembentukan syara’ iadalah mengambil manfaat atau
menghindarkan bahaya bagi umat manusia (جلب منفعة للناس أو دفع ضرر عنهم).
Itulah tujuan akhir pembentukan hukum, yang kemudian disebut sebagai hikmah
al-hukm (حكمة الحكم)
.
Oleh
karenanya, orang yang tidak sehat ketika bulan Ramadhan, diperbolehkan tidak
melakukan puasa. Hal ini mengandung hikmah, menghindari bahaya. Adanya hak Syuf’ah
kepada pihak perkumpulan atau kepada tetangga, ini pun mengandung hikmah
menghindari bahaya. Kewajiban dilaksanakan hukum qishash kepada pelaku
pembunuhan secara sengaja dan aniaya, mengandung hikmah pemeliharaan bagi
kehidupan umat manusia. Kewajiban memotong tangan atas pencuri, mengandung
hikmah pemeliharaan terhadap kekayaan manusia. Dibolehkannya mengadakan tukar
menukar mengandung hikmah tidak adanya kesempitan dalam memenuhi kebutuhan
manusia. Ringkasnya, hikmah hukum syara’ adalah mencari kemaslahatan dan
menghindari kerusakan.
Seseorang
yang mendasarkan setiap hukum terhadap hikmah yang dikandung, dan mengaitkan
hukum dengan hikam yang dikandung atau dikaitkn dengan tidak adanya hikam,
ia termasuk orang yang terburu-buru (المتبادر). Sebab, hikmah
adalah yang mendorong terbentuknya hukum itu. Namun, jika dilihat dari
penyelidikan yang sesungguhnya, hikmah pembentukan suatu hukum itu terkadang
merupakan sesuatu yang rahasia. Maksudnya, tidak bisa dijangkau indera manusia
secara lahiriah, yang dengan sendirinya tidak bisa membuktikan wujud atau
tidaknya hukum. Begitu pula tidak bisa begitu saja mendasarkan hukum atas
hikmah atau mengkorelasikan adanya hukum didasarkan atas hikmah semata.
Begitu
pula dalam hal meniadakan, misalnya bolehnya mengadakan tukar menukar
mengandung hikmah hilangnya kesempitan mengenai kebutuhan manusia. Kebutuhan
adalah sesuatu yang tersembunyi (خفي), dan tak dapat
diketahui apakah tukar menukar itu lantaran kebutuhan atau lainnya. Juga
mengenai nasab lantaran hubungan suami istri, hikmahnya adalah adanya hubungan
kedua jenis yang bisa mengakibatkan hamilnya istri. Hal tersebut adalah sesuatu
yang tersembunyi dan tak dapat diketahui. Terkadang hikmah itu merupakan
sesuatu yang bersifat dugaan atau perkiraan (تقديري), yang dengan
demikian kedudukan hukum di atas hikmah itu tidak pasti. Juga tidak pasti
hubungan antara hukum dan hikmah dalam ada atau tidak adanya.
Misalnya,
kebolehan berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi seorang yang menderita sakit.
Hal ini mengandung hikmah menolak bahaya (دفع المشقة). Tetapi itu pun
masih bersifat perkiraan dan tidak ada kepastian. Dengan demikian, lantaran
hikma itu tersembunyi dalam hubungannya dengan pembentukan hukum, maka harus
menganggap hal lain yang secara pasti dapat dijadikan dasar hukum atau ada
hubungannya. Dan hal lain itu ada persesuaian dengan hikmah, yang berarti hal
itu sebagai tempat dugaan hikmah, dan pendirian ukum didirikan di atasnya.
Sasarannya adalah membuktikan hikmah bagi sesuatu yang tampak dan pasti, yang
di atas hikmah itu hukum ditegakkan. Sebab hukum itu merupakan tempat dugaan bagi
hikmah yang dikandungnya. Dan menegakkan hukum di atasnya itu lantaran untuk
membuktikan hikmahnya. Inilah yang dimaksud dengan illat oleh ulama
Ushul. Maka, perbedaan antara hikmah hukum dan illat-nya itu adalah yang memberi
dorongan pembentukan hukum dan yang menjadi tujuan akhirnya adalah hukum syara’
untuk kemaslahatan manusia, sehingga pembentukannya harus sempurna dan
menghilangkan mafsadah. Sedangkan illat hukum, ialah sesuatu yang
pasti dan konkrit, yang dipakai sebagai dasar hukum dan dijadikan hubungan, ada
atau tidaknya hubungan itu. Sebab, pembentukan hukum dan hubungan itu dapat
membentuk hikmah pembentukan hukum.
Meng-qashar
shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at bagi seorang musafir, mengandung hikmah
meringankan dan menghilangkan keberatan (المشقة). Hikmahnya itu
bersifat tidak pasti atau bersifat perkiraan dan dapat dijadikan dasar hukum.
Karena, syara’ menganggap bepergian itu sebagai hubungan hukum (مناط الحكم)yang nyata dan
pasti, yang merupakaan tempat dugaan penentuan hikmah. Sebab dalam bepergian
itu terdapat berbagai kesulitan, maka meng-qashar shalat 4 raka’at
menjadi 2 raka’at bagi musafir adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan. Dan
itulah yang dijadikan illah dalam safar atau bepergian.
Memiliki
hak syuf’ah bagi perkumpulan atau tetangga, mengandung hikmah menolak
bahaya dari perkumpulan atau pertetanggaan itu. Hikmah ini pun bersifat tidak
pasti atau perkiraan. Karenanya, perkumpulan atau tetangga itu dianggap sebagai
hubungan hukum (مناط الحكم)
lantaran masing-masingnya merupakan hal yang pasti dan nyata. Kemudian,
menjadikan hikmah itu sebagai hubungan hukum
lantaran bisa diajadikan sebagai tempat dugaan (مظنة) terwujudnya hikmah
hukum, sebab bahaya itu bisa menimpa perkumpulan atau tetangga. Hikmah memiliki
hak syuf’ah itu adalah menolak bahaya, dan sebagai illat adalah
perkumpulan dan hubungan tetangga.
Hukum
syara’ didasarkan pada illat yang berhubungan dengan wujud maupun
tidak, namun bukan pada hikmahnya. Hal ini berarti bahwa hukum syara’ itu
dapat diketahui jika dijumpai illat-nya, walaupun hikmahnya tak nampak.
Hukum itu tidak ada jika illat-nya tidak ada, walaupun hikmahnya dapat
dijumpai. Sebab, hikmah itu tersembunyi di dalam sebagian hukum. Karena
tidak pastinya sebagian hukum, maka tidak bisa dijadikan sebagai tanda wujud
atau tiadanya hukum. Dengan demikian, ukuran beban taklif dan muamalah tidak
bisa tegak, jika hukum-hukum itu dihubungkan dengan hikmahnya semata.
Syari’ yang bijaksana, ketika mengakui adanya
masing-masing hukum berikut illat yang pasti dan nyata, maka wujud
hikmah itu diduga dengan mengkaitkan hukum dengan hal-hal yang pasti, yang
dijadikan sebagai hubungan hukum dengan illat-nya. Hal ini dimaksudkan
agar beban takliif tak menyimpang dan sesuai, di samping urutan muamalah
itu menjadi tertib dan diketahui sebab akibatnya. Mengenai tidak diketahuinya
hikmah pada sebagian hukum, sebenarnya tidak berarti apa-apa dalam kaitannya dengan
usaha meluruskan beban takliif dan pemerataan hukum (اطراد الأحكام). Karenanya, ulama
Ushul berkesimpulan bahwa hukum syara’ itu, wujud dan tidak wujudnya
berkembang bersamaan dengan illat, bukan bersamaan dengan hikmah. Dengan
kata lain, hubungan hukum syara’ adalah tempat dugaan (مظنة) hukum syara’,
dan bukan merupakan pusatnya (مئنة).
Seperti
orang yang mengadakan perjalanan di bulan Ramadhan dibolehkan tidak berpuasa,
lantaran terdapat illat tentang bolehnya tidak berpuasa, yakni
bepergian, sekalipun bepergian itu belum tentu mendapatkan kesulitan. Orang
yang mengadakan kongsi penjualan tanah (العقار), mempunyai hak
untuk membeli tanah itu dengan menutup harga (شفعة). Hal ini lantaran
ada illat istihqaaq , jika pihak pembeli tidak mengkhawatirkan adanya
bahaya. Namun orang di luar kongsi atau perkumpulan penjualan tanah itu, dan
bukan pula tetangga, ia tidak berhak membelinya dengan menutup harga karena ada
beberapa sebab yang membahayakan pihak pembeli.
Orang
yang sehat di bulan Ramadhan, dan tidak sedang safar, tidak boleh berbuka
puasa, walaupun ia pekerja di sebuah camp atau galian tambang, kecuali
jika ia berpuasa ia akan mendapatkan kesulitan yang membahayakan.
Seorang
yang mendapatkan nilai ujian cukup maka ia akan lulus, walaupun ia tak mampu
menyusun sebuah teori. Sedang orang yang tak mendapatkan nilai cukup dalam
ujian, ia takkan lulus, sekalipun mampu menyusun teori keilmuan.
Selama
hukum syara’ didasarkan pada illat bukan pada hikmahnya, maka
menjadi keharusan bagi mujtahid untuk menggunakan cara kias agar dapat
mempersamakan asal dan cabang dalam illat, bukan dengan hikmah. Juga
suatu keharusan bagi Hakim untuk memutuskan hukum jika terdapat illat,
tanpa mempertimbangkan segi hikmah. Karenanya, jika seorang Hakim memutuskan syuf’ah
bagi selain orang yang ada dalam kongsi atau perkumpulan atau tetangga
berdasarkan adanya bahaya yang menimpa pihak pembeli, hal itu merupakan suatu
kesalahan. Tetapi jika ia meninggalkan hukum dengan cara memilih syuf’ah
bagi perkumpulan atau tetangga berdasarkan tidak akan ada bahaya bagi pihak
pembeli, hal tersebut juga merupakan kesalahan.
Namun
demikian, pada sebagian hukum ternyata tidak ada illat-nya. Maka para fuqaha’
menetapkan bahwa penjualan yang dilakukan oleh seseorang karena terpaksa
dianggap tidak sah, sebab terdapat llat, yaitu shiighah aqd namun
tidak ada hukum tentang pemindahan hak milik (نقل الملكية). Dalam
Undang-undang Dasar No. 25/1929, pasal 15 tertulis bahwa pengakuan nasab tidak
akan diakui jika terdapat pengingkaran anak seorang istri, karena tidak pernah
ada pertemuan antara suami istri sejak berlangsungnya akad nikah. Hubungan
suami istri itu ada, tetapi tidak ada hukumnya tentang ketetapan nasab.
Jika
seorang raja telah mencapai usia 21 tahun, tetapi terbukti bahwa ia tidak
dewasa, maka kekuasaan tidak boleh berada di tangannya, walaupun ada illat
untuk menerima kekuasaan, yakni hingga dewasa.
Pada
dasarnya hkum-hukum itu terdapat contoh. Apa yang dijelaskan pada uraian
terdahulu telah dijelaskan bahwa illat yang nyata dan pasti itu hanya
dijadikan sebagai dasar hukum karena illat adalah tempat dugaan hikmah,
dan tempat dugaan itu menempati kedudukan pusat (المئنة). Namun demikian,
jika terdapat dalil yang meniadakan illat yang nyata dan pasti itu
sebagai tempat dugaan hikmah hukum, berarti dasar illat telah hilang dan
illat itu sendiri tidak abadi. Karenanya, jual beli yang bersifat
terpaksa meniadakan shiighah sebagai tempat dugaan saling merelakan,
sekaligus menjadi bukti akan suatu kebutuhan. Dengan demikian, shiighah dari
pihak yang terpaksa itu bukan illat. Begitu pula hubungan suami istri
yang tak pernah bertemu sehak berlangsungnya akad nikah, tidak bisa menjadi
tempat dugaan yang kuat. Jika istri itu telah hamil karena suaminya, juga bukan
merupakan illat bagi tetapnya nasab. Begitu pula raja yang berusia 21
tahun, tidak selalu melahirkan asumsi bagi kemampuan dalam mengelola harta,
jika memang ada indikasi ketidakdewasaan.
Suatu
hal yang perlu diperhatikan, bahwa sebagian ulama Ushul telah menjadikan illah
dan sebab sebagai persoalan yang sama, satu makna dan sama makna. Tetapi
kebanyakan ulama Ushul tidak sependapat dengan anggapan itu. Menurut mereka
masing-masing illat dan sebab mempunyai syarat/lambang hukum, yang dari
masing-masing itu dapat dibentuk hukum di atasnya, sekaligus merupakan hubungan
hukum dalam ada atau tidak adanya. Bagi para ahli hukum, hal itu mengandung
hikmah dalam kaitannya dengan menjadikannya sebagai hubungan dasar hukum. Namun
jika persesuaian dalam hukum itu terdiri dari hal-hal yang bisa dijangkau akal
fikiran, maka sifat itu disebut illat atau bisa juga disebut sebab. Dan
jika hal-hal itu tidak dijangkau akal fikiran, maka hanya bisa disebut sebab,
tidak bisa disebut sebagai illat.
Dengan
demikian, bepergian yang menjadikan bolehnya qashar shalat, empat rakaat
menjadi 2 rakaat, ada illat, sekaligus sebab. Sedang terbenamnya
matahari yang menunjukkan wahibnya melaksanakan shalat Maghrib, atau condongnya
matahari ke barat menunjukkan wajibnya melaksanakan shalat Dzuhur, atau
menyaksikan datangnya bulan Ramadhan yang menunjukkan wajibnya berpuasa,
semuanya adalah sebab, bukan illat. Dengan kata lain, setiap illat
adalah sebab, namun setiap sebab belum tentu illat.
Sumber: Ilm Ushuul Al-Fiqh, karya Abdul Wahhab Khalaf
dengan bantuan pengalihan bahasa oleh K.H. Masdar Helmy
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment