Jika yang dimaksud adalah darah haid, maka ini najis,
menurut kesepakatan ulama.
Namun jika yang dimaksud adalah darah manusia secara
umum, terdapat perselisihan pendapat mengenainya.[1]
Pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab fiqh
bahwa darah adalah najis. Namun, mereka tidak memiliki hujjah.
Hanya saja darah itu diharamkan berdasarkan nash Al-Qur’an,
{ قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا
عَلَىٰ طَاعِمٍۢ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًۭا مَّسْفُوحًا
أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍۢ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ }
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu kotor” (Q.S. Al-An’am: 145)
Menurut mereka, pengharaman itu mengindikasikan
kenajisan, sebagaimana yang mereka lakukan berkenaan dengan khamr. Dan
ini sudah jelas. Tetapi telah dinukil dari sejumlah ulama tentang ijma’
penajisannya.
Di lain pihak, sejumlah ulama muta’akhkhiriin, di
antaranya Asy-Syaukany, Shiddiq Khan, Al-Albany, dan Ibn
Al-Utsaimiin berpendapat mengenai kesuciannya. Karena, menurut mereka,
tidak ada ketetapan ijma’. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut:
a. Hukum asal segala sesuatu itu suci, hingga ada
dalil yang menunjukkan kenajisannya. Kami tidak pernah mengetahui Nabi shallallahu
alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci darah selain darah haid.
Padahal banyak orang sering mengalami luka atau sejenisnya. Jika darah itu
najis, niscaya Nabi telah menjelaskannya karena masalah ini sangat dibutuhkan.
b. Kaum Muslimin, dari dahulu hingga sekarang, tetap
diperintahkan mengerjakan shalat dengan luka-luka yang ada pada tubuh mereka.
Bahkan ada yang mengalirkan darah sangat banyak yang tidak bisa ditolerir.
Namun, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau memerintahkan untuk
mencucinya. Tidak pernah pula diriwayatkan, mereka mempersoalkan tentang
darah-darah yang mengucur ini.
Al-Hasan berkata, “Dari dahulu sampai sekarang kaum
Muslimin tetap mengerjakan shalat dengan luka-luka pada tubuh manusia.” [2]
Dalam hadits sahabat Anshar, “Ketika ia shalat pada malam
hari, ia dipanah oleh seorang Musyrik. Lalu ia mencabut panahnya dan
meletakkannya. Hingga ia dipanah sampai 3 kali. Kemudian ia rukuk, sujud, dan
terus melanjutkannya, sementara darah terus mengalir.”[3]
Syaikh Al-Albany berkata[4]:
وهو في حكم المرفوع، لأنه يُستبعد
عادة أن لا يطَّلع النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك، فلو كان الدم الكثير ناقضًا لبينه
صلى الله عليه وسلم، لأن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما هو معلوم من علم الأصول،
وعلى فرض أن النبي صلى الله عليه وسلم خفى ذلك عليه، فما هو بخاف على الله الذي لا
تخفى عليه خافية في الأرض ولا في السماء، فلو كان ناقضًا أو نجسًا لأوحى بذلك إلى نبيه
صلى الله عليه وسلم كما هو ظاهر لا يخفى على أحد.
“Hadits
ini memiliki hukum marfu’, karena mustahil Nabi tidak mengetahuinya. Jika darah
yang banyak keluar itu membatalkan wudhunya, tentulah Nabi telah
menjelaskannya. Karena menunda penjelasan dari waktu yang waktu yang dibutuhkan
tidak boleh, seperti yang terkenal dalam kaedah ilmu ushul. Anggaplah Nabi tidak
mengetahuinya, tapi hal ini tidak tersembunyi bagi Allah yang tidak ada perkara
yang tersembunyi bagi-Nya di langir dan di bumi. Jika itu membatalkan wudhu,
atau najis, tentulah Allah telah mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi-Nya,
sebagaimana kenyataannya yang sudah jelas bagi siapa pun.”
Dalam hadits tentang terbunuhnya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
anh disebutkan, “Umar terus mengerjakan shalat, sementara darahnya
membasahi sekujur tubuhnya.”[5] Yakni, darahnya terus
mengalir.
c. Hadits Aisyah tentang kisah kematian Sa’d bin Muadz,
ia berkata, “Sa’d bin Muadz terluka pada peperangan Khandaq karena dipanah
oleh seorang lelaki pada pelipisnya. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk menjenguknya. Ketika
malam tiba, melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga
membasahi kemah yang ada di sampingnya. Mereka berkata, “Hai penghuni kemah,
apa yang kalian kirimkan kepada kami?” Ketika mereka melihatnya, ternyata luka
Sa’d telah pecah dan darahnya memancar dengan deras. Kemudian dia pun
meninggal.”[6]
Penulis (Abu Malik) berkata:
Tidak diriwayatkan bahwa Nabi memerintahkan untuk menyiramkan air padanya.
Apalagi hal ini terjadi di masjid sebagaimana beliau memerintahkan untuk
mengguyurkan air pada air seni orang Arab Badui.
d. Ketika Ibnu Rusyd menyebutkan perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang darah ikan, dia menyebutkan sebab perselisihan mereka,
yaitu tentang masalah status bangkainya. Pihak yang berpendapat bangkainya itu
termasuk dalam keumuman pengharaman, maka mereka menghukumi darahnya juga
demikian. Sementara pihak yang mengeluarkan bangkai ikan dari keumuman dalil,
maka mereka mengeluarkan hukum darahnya dari hukum tersebut, karena diqiyaskan
pada bangkai.
Penulis berkata:
Mereka juga berpendapat sucinya mayat manusia, demikian juga darahnya, menurut
kaidah mereka.
Karena itu, Ibnu Rusyd mengomentari setelahnya, “Nash
hanya menunjukkan najisnya darah haid. Adapun selain itu, maka hukumnya tetap
pada hukum asal yang telah disepakati di antara kedua belah pihak yang
bersengketa, yaitu suci. Dan, tidak boleh dikeluarkan dari hukum asal, kecuali
dengan nash yang dengannya hujjah dapat ditegakkan.”
Jika ditanyakan: Mengapa tidak diqiyaskan saja dengan
darah haid? Bukankah darah haid adalah najis?
Kita jawab: Ini adalah qiyas yang tidak tepat.
Karena darah haid adalah darah kebiasaan kaum wanita.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
«إن هذا شيء كتبه الله على بنات آدم»
“Sesungguhnya
ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita keturunan Adam.”[7]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
tentang darah istihaadhah:
«إنه دم عرق»
“Itu
adalah darah yang berasal dari urat.”[8]
Kemudian, darah haid adalah darah yang sangat kental dan
berbau tak sedap. Ia menyerupai tinja dan air seni, bukan darah yang keluar
dari selain dua jalur tersebut.
[1] Tafsir
Al-Qurthuby (II/221), Al-Majmu’ (II/511), Al-Muhalla (I/102),
Al-Kaafy (1/110), Bidaayah Al-Mujtahid dan Sail Al-Jarar
(I/31), Asy-Syarh Al-Mumti’ I/376), Silsilah Ash-Shahiihah dan Tamaam
Al-Minnah, hal. 50.
[2]
Sanadnya shahih. Hadits ini riwayat Al-Bukhary secara mu’allaq (I/336),
dan asalnya dari Ibnu Abu Syaibah dengan sanad shahih, seperti disebutkan dalam
Fath Al-Baary (I/337)
[3]
Shahih, hadits ini riwayat secara mu’allaq oleh Al-Bukhary (I/336), dan
diriwayatkan secara bersambung oleh Ahmad dan selainnya dengan sanad shahih.
[4] Tamaam
Al-Minnah, hal. 51-52
[5]
Shahih. Hadits ini riwayat Malik, no. 82; Al-Baihaqy (I/357) dan selainnya
dengan sanad shahih.
[6]
Shahih. Hadits ini riwayat Abu Daud, no. 3100, secara ringkas, dan Ath-Thabrany
dalam Al-Kabiir (VI/7).
[7]
Shahih, riwayat Al-Bukhary, no. 294, dan Muslim, no. 1211
[8]
Shahih, riwayat Al-Bukhary, no. 327, dan Muslim, no. 333
----------------------------------
Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah
Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary
diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment