Friday, February 15, 2013

Apakah Darah Manusia Tergolong Najis?


Jika yang dimaksud adalah darah haid, maka ini najis, menurut kesepakatan ulama.

Namun jika yang dimaksud adalah darah manusia secara umum, terdapat perselisihan pendapat mengenainya.[1]

Pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab fiqh bahwa darah adalah najis. Namun, mereka tidak memiliki hujjah. Hanya saja darah itu diharamkan berdasarkan nash Al-Qur’an,

{ قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍۢ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًۭا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍۢ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ }

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor” (Q.S. Al-An’am: 145)

Menurut mereka, pengharaman itu mengindikasikan kenajisan, sebagaimana yang mereka lakukan berkenaan dengan khamr. Dan ini sudah jelas. Tetapi telah dinukil dari sejumlah ulama tentang ijma’ penajisannya.

Di lain pihak, sejumlah ulama muta’akhkhiriin, di antaranya Asy-Syaukany, Shiddiq Khan, Al-Albany, dan Ibn Al-Utsaimiin berpendapat mengenai kesuciannya. Karena, menurut mereka, tidak ada ketetapan ijma’. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut:


a. Hukum asal segala sesuatu itu suci, hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Kami tidak pernah mengetahui Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci darah selain darah haid. Padahal banyak orang sering mengalami luka atau sejenisnya. Jika darah itu najis, niscaya Nabi telah menjelaskannya karena masalah ini sangat dibutuhkan.

b. Kaum Muslimin, dari dahulu hingga sekarang, tetap diperintahkan mengerjakan shalat dengan luka-luka yang ada pada tubuh mereka. Bahkan ada yang mengalirkan darah sangat banyak yang tidak bisa ditolerir. Namun, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau memerintahkan untuk mencucinya. Tidak pernah pula diriwayatkan, mereka mempersoalkan tentang darah-darah yang mengucur ini.

Al-Hasan berkata, “Dari dahulu sampai sekarang kaum Muslimin tetap mengerjakan shalat dengan luka-luka pada tubuh manusia.” [2]

Dalam hadits sahabat Anshar, “Ketika ia shalat pada malam hari, ia dipanah oleh seorang Musyrik. Lalu ia mencabut panahnya dan meletakkannya. Hingga ia dipanah sampai 3 kali. Kemudian ia rukuk, sujud, dan terus melanjutkannya, sementara darah terus mengalir.”[3]

Syaikh Al-Albany berkata[4]:

وهو في حكم المرفوع، لأنه يُستبعد عادة أن لا يطَّلع النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك، فلو كان الدم الكثير ناقضًا لبينه صلى الله عليه وسلم، لأن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما هو معلوم من علم الأصول، وعلى فرض أن النبي صلى الله عليه وسلم خفى ذلك عليه، فما هو بخاف على الله الذي لا تخفى عليه خافية في الأرض ولا في السماء، فلو كان ناقضًا أو نجسًا لأوحى بذلك إلى نبيه صلى الله عليه وسلم كما هو ظاهر لا يخفى على أحد.

“Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena mustahil Nabi tidak mengetahuinya. Jika darah yang banyak keluar itu membatalkan wudhunya, tentulah Nabi telah menjelaskannya. Karena menunda penjelasan dari waktu yang waktu yang dibutuhkan tidak boleh, seperti yang terkenal dalam kaedah ilmu ushul. Anggaplah Nabi tidak mengetahuinya, tapi hal ini tidak tersembunyi bagi Allah yang tidak ada perkara yang tersembunyi bagi-Nya di langir dan di bumi. Jika itu membatalkan wudhu, atau najis, tentulah Allah telah mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi-Nya, sebagaimana kenyataannya yang sudah jelas bagi siapa pun.”

Dalam hadits tentang terbunuhnya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anh disebutkan, “Umar terus mengerjakan shalat, sementara darahnya membasahi sekujur tubuhnya.”[5] Yakni, darahnya terus mengalir.

c. Hadits Aisyah tentang kisah kematian Sa’d bin Muadz, ia berkata, “Sa’d bin Muadz terluka pada peperangan Khandaq karena dipanah oleh seorang lelaki pada pelipisnya. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk menjenguknya. Ketika malam tiba, melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah yang ada di sampingnya. Mereka berkata, “Hai penghuni kemah, apa yang kalian kirimkan kepada kami?” Ketika mereka melihatnya, ternyata luka Sa’d telah pecah dan darahnya memancar dengan deras. Kemudian dia pun meninggal.”[6]

Penulis (Abu Malik) berkata: Tidak diriwayatkan bahwa Nabi memerintahkan untuk menyiramkan air padanya. Apalagi hal ini terjadi di masjid sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengguyurkan air pada air seni orang Arab Badui.

d. Ketika Ibnu Rusyd menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang darah ikan, dia menyebutkan sebab perselisihan mereka, yaitu tentang masalah status bangkainya. Pihak yang berpendapat bangkainya itu termasuk dalam keumuman pengharaman, maka mereka menghukumi darahnya juga demikian. Sementara pihak yang mengeluarkan bangkai ikan dari keumuman dalil, maka mereka mengeluarkan hukum darahnya dari hukum tersebut, karena diqiyaskan pada bangkai.

Penulis berkata: Mereka juga berpendapat sucinya mayat manusia, demikian juga darahnya, menurut kaidah mereka.

Karena itu, Ibnu Rusyd mengomentari setelahnya, “Nash hanya menunjukkan najisnya darah haid. Adapun selain itu, maka hukumnya tetap pada hukum asal yang telah disepakati di antara kedua belah pihak yang bersengketa, yaitu suci. Dan, tidak boleh dikeluarkan dari hukum asal, kecuali dengan nash yang dengannya hujjah dapat ditegakkan.”

Jika ditanyakan: Mengapa tidak diqiyaskan saja dengan darah haid? Bukankah darah haid adalah najis?

Kita jawab: Ini adalah qiyas yang tidak tepat.

Karena darah haid adalah darah kebiasaan kaum wanita. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«إن هذا شيء كتبه الله على بنات آدم»

“Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita keturunan Adam.”[7]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang darah istihaadhah:

«إنه دم عرق»

“Itu adalah darah yang berasal dari urat.”[8]

Kemudian, darah haid adalah darah yang sangat kental dan berbau tak sedap. Ia menyerupai tinja dan air seni, bukan darah yang keluar dari selain dua jalur tersebut.


[1] Tafsir Al-Qurthuby (II/221), Al-Majmu’ (II/511), Al-Muhalla (I/102), Al-Kaafy (1/110), Bidaayah Al-Mujtahid dan Sail Al-Jarar (I/31), Asy-Syarh Al-Mumti’ I/376), Silsilah Ash-Shahiihah dan Tamaam Al-Minnah, hal. 50.
[2] Sanadnya shahih. Hadits ini riwayat Al-Bukhary secara mu’allaq (I/336), dan asalnya dari Ibnu Abu Syaibah dengan sanad shahih, seperti disebutkan dalam Fath Al-Baary (I/337)
[3] Shahih, hadits ini riwayat secara mu’allaq oleh Al-Bukhary (I/336), dan diriwayatkan secara bersambung oleh Ahmad dan selainnya dengan sanad shahih.
[4] Tamaam Al-Minnah, hal. 51-52
[5] Shahih. Hadits ini riwayat Malik, no. 82; Al-Baihaqy (I/357) dan selainnya dengan sanad shahih.
[6] Shahih. Hadits ini riwayat Abu Daud, no. 3100, secara ringkas, dan Ath-Thabrany dalam Al-Kabiir (VI/7).
[7] Shahih, riwayat Al-Bukhary, no. 294, dan Muslim, no. 1211
[8] Shahih, riwayat Al-Bukhary, no. 327, dan Muslim, no. 333

----------------------------------

Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah
Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary
diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment