Telah tersebutkan bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah
suci. Tidak boleh dipindahkan dari hukum
asalnya, kecuali dengan adanya penukilan dalil shahih yang
dapat dijadikan hujjah. Tanpa ada pertentangan dengan dalil-dalil yang lebih
kuat atau yang sama dengannya. Jika kita menemukannya, maka hal itu bagus.
Namun, jika kita tidak menemukannya, kita wajib melarang orang-orang yang
mengatakan najis. Karena klaim tersebut berarti bahwa Allah Ta’ala telah
mewajibkan atas hamba-hamba-Nya untuk mencuci benda-benda tersebut, yang
diduganya najis dan keberadaannya dapat menghalangi pelaksanaan shalat. Padahal
tidak ada dalil mengenai hal itu.
Muntah dan sejenisnya termasuk dalam
jenis ini. Tidak ditemukan dalil shahih yang memindahkannya dari hukum asalnya,
yaitu suci. Memang ada hadits yang mensinyalir kenajisannya, yaitu hadits
Ammar, “Kamu hanya mencuci pakaianmu dari air seni, tinja, muntah, darah dan
mani.” Namun hadits ini dhaif, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Wallahu
a’lam.
Ada riwayat shahih dari Abu Darda, “Nabi
shallallahu alaihi wa sallam muntah, maka beliau berbuka dan berwudhu.”
(Shahih, H.R. Abu Daud, no. 2381, At-Tirmidzy, no. 87, Ahmad (VI/443) dan
selainnya)
Namun dalam hadits ini tidak ada dalil
yang menunjukkan bahwa muntah itu najis. Tidak ada dalil yang menunjukkan
wajibnya wudhu karena muntah. Tidak juga menunjukkan batalnya wudhu karena
muntah. Maksimal yang dapat kita ambil adalah disyariatkannya berwudhu karena
muntah.
Karena sebatas perbuatan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tidaklah menunjukkan suatu kewajiban. Di samping itu,
tidak semua yang membatalkan wudhu itu adalah najis.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa.
Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiih Madzaahib Al-A'immah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
Penerjemah: Abu Ihsan Al-Atsary
Diambil dari kitab Shahih Fiqh Sunnah, Jilid I, Pustaka At-Tazkia
No comments:
Post a Comment