Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu anh, ia
berkata, “Kami memakan daging keledai pada hari peperangan Khaibar, maka Nabi shallallahu
alaihi wa sallam berseru:
إن الله ورسوله ينهاكم عن لحوم الحمر
فإنها رجس، أو: نجس
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya melarang kalian (makan) dari daging keledai, karena
sesungguhnya ia adalah rijs, atau najis.”[1]
Dan hadits Salamah bin Al-Akwa’, ia berkata, “Pada hari
ditaklukkannya Khaibar, dinyalakanlah api yang sangat banyak. Maka Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bertanya:
«ما هذه النار على أي شيء توقدون»؟ قالوا: على لحم، قال: «على أي لحم؟»
قالوا: على لحم الحمر الإنسية، فقال: «أهريقوها واكسروها». فقال رجل: يا رسول الله،
أو نهريقها ونغسلها؟ قال: «أو ذاك»
“Api
apa ini? Untuk apa kalian menyalakannya?” Mereka berkata, “Orang-orang
sedang (memasak) daging.” Beliau bertanya, “Daging apa?” Mereka
menjawab, “Daging keledai peliharaan.’ Maka beliau berkata, “Tumpahkanlah
dan pecahkan (bejananya)!” Maka berkara seorang laki-laki, “Wahai
Rasulullah, ataukah kita menumpahkannya dan mencuci (bejana)nya?”
Beliau menjawab, “Atau seperti itu (menumpahkannya dan
mencuci bejananya).”[2]
Dalam dua hadits di atas terdapat dalil tentang najisnya
daging keledai peliharaan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dalam hadits yang pertama, “Karena sesungguhnya ia adalah rijs,
atau najis.” Dan berdasarkan perintah beliau dalam hadits kedua agar
memecahkan bejana itu. Kemudian, setelah itu, beliau membolehkan mencucinya.
No comments:
Post a Comment