Friday, February 8, 2013

Mani, Suci atau Najiskah?



Dalam hal ini, ulama berselisih dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama: Mani itu najis. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan Imam Malik. Dan ini satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berargumen dengan hadits Aisyah radhiyallahu anha. Ketika ia ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab:

كنت أغسله من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فيخرج إلى الصلاة وأثر الغسل في ثوبه بقع الماء

“Aku dahulu mencucinya dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau keluar untuk shalat, sementara bekas cucian masih terlihat pada pakaian beliau.” [1]

Dan, mencuci ini tidaklah dilakukan kecuali untuk membersihkan sesuatu yang najis.



Pendapat Kedua: Mani itu suci. Ini pendapat Imam Asy-Syafi’I, Daud, dan ini salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari Ahmad. Mereka berdalil atas hal itu dengan hadits Aisyah tentang mani, ia mengatakan,”Dahulu aku mengeriknya dari pakaian Rasulullah.”[2]
Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha, ada seorang tamu yang singgah di rumahnya. Pada pagi harinya ia mencuci pakaiannya, maka Aisyah berkata padanya,

إنما كان يجزئك إن رأيته أن تغسل مكانه، فإن لم تر نضحت حوله، ولقد رأيتني أفركه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فركًا فيصلى فيه

“Sesungguhnya cukup bagimu mencuci tempat yang terkena mani, jika engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikkan saja di sekitarnya. Aku pernah mengeriknya dari pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau shalat dengan menggunakan pakaian itu.[3]

Cukup dengan pengerikan menunjukkan bahwa mani itu suci.

Adapun orang yang mengatakan kenajisannya menjawab: pengerikan tidaklah menunjukkan kesucian mani, melainkan menunjukkan tentang cara pensuciannya. Sebagaimana halnya pensucian sandal dengan mengusapkannya pada tanah.

Sebagai bantahannya[4], perbuatan Aisyah radhiyallahu anha yang kadangkala mengerik dan kadangkala mencucinya menunjukkan bahwa mani itu bukan najis. Karena pakaian juga terkadang dicuci karena terkena dahak, ludah dan kotoran. Demikianlah pendapat sejumlah sahabat, di antaranya Sa’ad bin Abu Waqqash, Ibnu Abbas dan selainnya. Menurut mereka, “Sesungguhnya mani itu seperti dahak dan ludah. Bersihkanlah darimu, walaupun dengan idzkhir (nama suatu tumbuhan).” Jelaslah di sini bahwa perbuatan Aisyah radhiyallahu anha hanyalah termasuk masalah memilih cara bersuci yang disukainya.[5]

Yang menegaskan hukum sucinya mani adalah para sahabat dahulu juga mimpi basah pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan mani mengenai badan serta pakaian mereka. Masalah mani ini adalah masalah yang umum terjadi. Jika najis, niscaya wajib bagi Nabi memerintahkan kepada mereka untuk menghilangkannya, seperti memerintahkan mereka untuk ber-istinja’. Namun, tak seorang pun yang meriwayatkan hal seperti itu. Maka diketahui secara meyakinakan bahwa menghilangkan mani tidaklah wajib. Wallahu a’lam.[6]





[1] Muttafaq alaih. H.R. Bukhari, no. 230, dan Muslim, no. 289
[2] Shahih. H.R. Muslim, no. 288
[3] ibid
[4] Majmu’ Al-Fataawa, (XXI/605)
[5] Syarh Shahih Muslim
[6] Majmu’ Al-Fataawa, (XXI/604)

-------------------------------------

Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment