Monday, February 4, 2013

Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyaas dari Al-Qur'an



Mutsbit Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain yang rasional. Ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil, ialah 3 ayat berikut ini:

Pertama, Surat An-Nisa, ayat 59

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Metode pengambilan dalil dengan ayat di atas ialah karena Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum beriman jika berselisih pendapat dan berlawanan terhadap sesuatu yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kesepakatan ulil amri, agar mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan cara bagaimanapun juga. Dengan demikian tak dapat diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yang tak ada nash-nya lantaran kesamaan illat hukum nash, termasuk mengembalikan kejadian yang tidak ada nash itu kepada Allah dan Rasuli-Nya, yang mengangung arti taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.


Kedua, Surat Al-Hasyr ayat 2

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى ٱلْمُؤْمِنِينَ فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan!”

Tempat pengambilan dalil (موضع الاستدلال)dari ayat tersebut adalah kata-kata yang berbunyi fa’tabiruu. Jalan pengambilan dalilnya (وجه الاستدلال) ialah karena setelah Allah menceritakan keadaan Bani Nadhir dan kaum kafir, serta memberi penjelasan siksa yang menimpa mereka dari arah yang tidak mereka sangka, Allah berfirman yang artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan!”

Maksudnya, kiaskanlah kalian dengan mereka, karena kalian adalah manusia sebagaimana mereka. Jika kalian berbuat seperti perbuatan mereka, maka kalian akan tertimpa siksa sebagaiamana yang menimpa mereka.

Hal tersebut menunjukkan adanya sunnatullah, baik kenikmatan, siksa, hukum-hukumnya adalah merupakan akibat dari adanya perbuatan yang menjadi sebab. Dengan demikian, adanya sebab tertentu dapat menimbulkan akibat tertentu pula. Dan masalah kias, tidak lain hanya mengikuti sunnatullah, adanya sebab, pasti ada akibat.

Itulah yang Allah tunjukkan dengan perkataan

-         { فَاعْتَبِرُوا }
-         { إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً }[1]
-         { لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ }[2]

Karenanya, walaupun kata I’tibaar ditafsirkan dengan العبور (lewat) atau  المرور (lalu), ataupun الاتعاظ (mengambil pelajaran), semuanya sama saja. Sebab semuanya merupakan sunnatullah yang tetap untuk makhluk-nya. Yaitu sesuatu yang berlaku pada contoh tersebut juga akan berlaku bagi siapa saja yang diberi contoh.

Tentunya Anda akan memahami jika terdapat seorang karyawan dijatuhi sanksi jabatan lantaran ulah menerima suap, maka seorang pimpinan akan memberi pernyataan kepada karyawan lainnya, ‘kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi kalian, atau ambillah kejadian ini sebagai pelajaran bagi kalian’. Dengan demikian, pernyataan seorang pemimpin itu dapat dimengerti. Jika kalian berlaku seperti penerima suap tersebut, berarti kalian seperti dia dan akan menerima tindakan hukuman yang sama.

Ketiga, Surat Yasin ayat 79

قُلْ يُحْيِيهَا ٱلَّذِىٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٍۢ
“Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama”

Ayat tersebut disampaikan sebagai jawaban kepada orang yang mengatakan, “Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang yang sudah hancur?” Jalan pengambilan dalil (وجه الاستدلال) dengan menggunakan ayat di atas ialah bahwa Allah mengambil dalil dengan jalan qiyas terhadap sesuatu yang ditolak oleh orang-orang yang menolak adanya hari kebangkitan. Karena itu, Allah membuat qiyas pengembalian makhluk yang telah hancur, dikiaskan dengan pertama kali pernciptaan makhluk oleh Allah dalam rangka memuaskan kaum penentang. Artinya, jika Allah Maha Kuasa menciptakan sesuatu, menghidupkan dan mengembangkannya yang pertama kali, berarti Allah mampu mengembalikannya. Bahkan pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang sangat ringan bagi Allah. Penetapan dengan jalan qiyas ini menguatkan kehujjahan qiyas dan kebenaran istidlal dengan menggunakan al-qiyas.

Ayat-ayat di atas menunjukkan kehujjahan qiyas, yang dalalah-nya telah dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala yang terdapat ketentuan hukum bersama illat-nya, misalnya tentang haid.

قُلْ هُوَ أَذًۭى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ

“Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.”[3]

Dan firman Allah mengenai kebolehan tayammum:

مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍۢ

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”[4]

Sebab, dalam ayat tersebut terdapat suatu petunjuk bahwa hukum tersebut tegak berdasarkan maslahat, sekaligus berhubungan dengan sebab. Di samping itu, memberi isyarat bahwa hukum tersebut dijadikan dasar bersama-sama adanya sebab.



[1] Q.S. An-Naaziaat: 26
[2] Q.S. Yusuf: 111
[3] Q.S. Al-Baqarah: 222
[4] Q.S. Al-Maidah: 6

dari: Ilm Ushuul Al-Fiqh, Abdul Wahhab Khalaf
ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment