Di antara sikap mereka (orang-orang yang menolak Al-Qiyas), adalah karena adanya pendapat bahwa al-qiyas itu berdasarkan dugaan (الظن). Sedang sesuatu yang didasari oleh dugaan, hasilnya merupakan dugaan juga. Dalam hal ini Allah melarang mengikuti orang-orang yang bertumpu dari dugaan.
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”[1]
Maka, tidaklah benar hukum berdasarkan al-qiyas karena hanya berdasarkan dugaan.
Hal tersebut merupakan keraguan yang lemah. Sebab yang dilarang adalah mengikuti dugaan dalam hal aqidah. Sedang dalam hal hukum-hukum amaliyyah, kebanyakan dalil yang ada justru bersifat dzanny (dugaan). Jika keraguan itu dapat dibenarkan, maka nash-nash dzanny itu dalalah-nya tak bisa diragukan lantaran mengikuti dugaan (dzann). Berdasarkan konsensus (اتفاق), pendapat tersebut sangat keliru lantaran kebanyakan nash, dalalah-nya adalah dzanny.
Di antara keraguan mereka yang paling tampak, adalah pendapat bahwa al-qiyas itu didasarkan pada perbedaan pandangan tentang pemberian illat hukum. Dengan kata lain al-qiyas adalah obyek perselisihan hukum (مثار اختلاف الأحكام), sedang syari’at tidak mungkin menimbulkan pertentangan (تناقض).
Keraguan ini lebih lemah dibanding keraguan terdahulu. Sebab, perbedaan pendapat yang didasarkan pada al-qiyas tidak bisa dikatakan sebagai ikhtilaf dalam hal aqidah atau masalah-masalah pokok agama. Namun ikhtilaf itu hanya berkisar pada sebagian hukum amaliyyah yang mengakibatkan kerusakan apapun. Terkadang, justru merupakan rahmat bagi umat manusia yang mengandung banyak maslahat.
Keraguan berikutnya, ialah beberapa anggapan yang mereka sadur dari sebagian sahabat yang mengecam ra’yu dan pendapat tentang ketetapan hukum dengan menggunakan ra’yu. Misalnya pernyataan Umar:
إياكم وأصحاب الرأي فإنهم أعداد السنن، أعيتهم الأحاديث أن يحفظوها فقالوا بالرأي، فضلوا وأضلوا
“Jauhilah oleh kalian para ahli ra’yu (pendapat), karena mereka adalah musuh As-Sunnah. Mereka tidak menghafal hadits-hadits sehingga berkata sesuatu berdasarkan ra’yu. Karena itulah, mereka sesat dan menyesatkan!”
Pemahaman terhadap perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan alasan lantaran yang dimaksud dengan perkataan tersebut bukannya menolak berlakunya al-qiyas sebagai hujjah. Tetapi larangan itu dimaksudkan jangan sampai hanya mengikuti nafsu (اتباع الهوى) atau mengikuti pendapat yang tidak mempunyai rujukan nash.
[1] Q.S. Al-Israa’: 36
----------------------------------------
Dinukil dari kitab Ilm Ushuul Al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khalaf
Ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment