Oleh
Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Thaharah
secara bahasa berarti suci dan bersih dari hadats. Sedangkan menurut
istilah bermakna menghilangkan hadats dan najis.[1]
Bab Air
Semua
air yang turun dari langit dan keluar dari bumi adalah suci dan menyucikan.
Dasarnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ
رَحْمَتِهِ ۚ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dia-lah
Yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira yang dekat sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat
bersih.” [Al-Furqaan:
48]
Sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air
laut itu suci dan menyucikan serta halal bangkainya.” [2]
Juga
sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sumur Budha’ah:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Sesungguhnya
air itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.”
Air
tetap dalam kesuciannya sekalipun bercampur dengan sesuatu yang suci selama
tidak keluar dari keasliannya (kemutlakn)nya. (Maksudnya,
air tersebut masih dinamai air saja. Berbeda dengan air yang sudah dalam bentuk
lain, minuman seeperti kopi, teh, susu dan lainnya. Di mana air tersebut
bercampur dengan zat-zat yang suci namun telah keluar dari kemutlakannya. Air
semacam ini suci namun tidak mensucikan (tidak boleh dipakai untuk bersuci). Ed.)
Dasarnya
adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para wanita
yang memandikan jenazah puteri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ
ذلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي اْلآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ
شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ.
“Mandikanlah
ia tiga kali, lima kali atau lebih dengan air dan bidara jika menurut kalian
perlu. Dan jadikanlah basuhan terakhir dengan kapur barus atau sedikit
dengannya.” [3]
Tidaklah
air itu dihukumi najis meskipun terdapat najis padanya kecuali jika ia berubah
karenanya.
Dasarnya
adalah hadits Abu Sa'id. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami wudhu di sumur
Budha‘ah?” Yaitu sumur yang di sana dibuang darah haidh, daging anjing, dan
kotoran.
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Air
itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh suatu apa pun.” [4]
[1]
Al-Majmuu' Syarh Al- Muhadzdzab (I/79).
[2]
Shahih: Shahiih Sunan Ibn Majah (no. 309), Muwaththa' al-Imam Malik
(XXVI/ 40), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/152 no. 83), Sunan
at-Tirmidzi (I/47 no. 69), Sunan Ibni Majah (I/136 no. 386), Sunan
an-Nasa-i (I/176).
[3]
Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125 no.
1253)], dan Shahiih Muslim (II/646 no. 939)
[4]
Shahiih: Irwaa Al- Ghaliil (no. 14)], Sunan Abi Dawud ('Aunul
Ma'buud) (I/127, 126 no. 66, 67), Sunan at-Tirmidzi (I/45 no. 66)
dan Sunan an-Nasa-i (I/174). Al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul
Ahwadzi (I/204), "Ath-Thayyibi ber-kata, ‘Makna perkataannya, ‘Yang
dibuang di situ’ adalah, sumur itu dulu dari aliran beberapa lembah yang
kemungkinan didatangi penghuni padang pasir dan membawa kotoran yang ada di
sekitar rumah mereka tadi. Banjir lantas membawa dan melemparkannya ke dalam
sumur. Penutur menceritakan dengan kata-kata yang mengesankan seolah yang
membuang adalah manusia, karena minimnya agama mereka. Hal ini tidak dibenarkan
oleh seorang muslim pun, maka bagaimana mungkin dilakukan oleh umat dari kurun
terbaik dan paling utama. Saya katakan (al-Mubarakfuri), "Beberapa orang
dari kalangan ahlul ilmi juga berpendapat demikian. Pendapat inilah yang tampak
kebenarannya."
-----------------------------------------------------
Sumber 1: Al-Wajiiz fi Fiqh As-Sunnah, Syaikh Abdul Adziim Al-Badawy
Sumber 2: almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment