Tuesday, February 5, 2013

Pengertian "Al-Hadits"


Para Muhadditsiin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan Hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu, terlahirlah dua macam definisi Hadits, yakni: definisi yang terbatas dan definisi yang luas di pihak lain.

I. DEFINISI YANG TERBATAS

Definisi Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur Al-Muhadditsiin, ialah:

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسبم قولا أو فعلا أو تقريرا أو نحوها

Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqriir) dan yang sebagainya.”[1]

Definisi ini mengandung 4 macam unsur, yakni: perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau saja. Tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’i.


Pemberitaan terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita yang mauquuf dan yang disandarkan kepada tabi’i disebut berita yang maqthu’.

[1] Perkataan

Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad adalah perkataan yang pernah beliau ucapkan di berbagai bidang, seperti bidang hukum, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya.

Sebagai contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syariat:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang itu memperoleh sesuai yang yang ia niatkan.”[2]

Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut, ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatan untuk mendapat pengakuan yang sah dari syara’.

Contoh sabda Nabi yang mengandung akhlaq:

ثَلَاثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْإِيمَانَ الْإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ وَالْإِنْفَاقُ مِنْ الْإِقْتَارِ

“Tiga hal yang barangsiapa sanggup menghimpunnya, berarti telah mencakup keimanan yang sempurna, yakni: (1) Jujur terjadap diri sendiri, (2) Mengucapkan salam perdamaian kepada alam, dan (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum.” [3]


Sabda Nabi tersebut menganjurkan seseorang berakhlaq luhur, berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan.

[2] Perbuatan

Perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya.

Misalnya: cara shalat beliau dan cara menghadap qiblat dalam shalat sunnah di atas kendaraan yang sedang berjalan. Telah dipraktekkan oleh Nabi dengan perbuatan beliau di hadapan para sahabat.

Perbuatan beliau dalam misal yang terakhir, dapat kita ketahui berdasarkan berita dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anh:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Konon Rasulullah shallallahu alahi wa sallam shalat di atas kendaraan (dengan menghadap qiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak shalat fardhu, beliau turun sebentar, lalu menghadap qiblat.[4]

Adanya pengecualian sebagian daripada perbuatan Rasulullah, tidaklah mengurangi ketentuan tentang keseluruhan perbuatan Rasulullah menjadi nash syara’ yang harus diikuti dan diteladani oleh seluruh umat Islam, disebabkan mungkin ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu hanya spesifik bagi Nabi saja. Perbuatan beliau yang tidak termasuk nash yang harus ditaati, antara lain:

   a.    Sebagian tindakan beliau yang ditunjuk oleh suatu dalil yang khas, yang menegaskan bahwa perbuatan itu hanya spesifik untuk beliau sendiri. Misalnya tindakan beliau atas dispensasi dari Allah, diperbolehkan mengawini wanita lebih dari 4 orang, dan mengawini wanita tanpa memberikan maskawin. Sebagai dalil adanya dispensasi mengawini wanita tanpa maskawin, ialah firman Allah:

وَٱمْرَأَةًۭ مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِىِّ إِنْ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةًۭ لَّكَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ
“dan (Kami halalkan)perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.”[5]

   b.    Sebagian tindakan beliau yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata yang bertalian dengan soal-soal keduniaan, seperti soal perdagangan, pertanian dan mengatur taktik perang. Pada suatu hari Rasulullah pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma, meminta penjelasan kepada beliau, lalu beliau menjawab bahwa “engkau lebih tahu mengenai urusan keduniaanmu”. Dan pada waktu perang Badr, Rasulullah menempatkan suatu divisi tentara di suatu tempat, yang kemudian ada seorang sahabat yang menanyakan kepada beliau, apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau hanya semata-mata pendapat dan siasat beliau? Rasulullah menjawabnya bahwa tindakannya itu hanya semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategis.

    c.    Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya.

[3] Taqriir

Arti Taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.

Contoh taqrir beliau tentang perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapannya, ialah tindakan salah seorang sahabat bernama Khalid bin Walid, dalam salah satu jamuan makan, menyajikan masakan daging hewan semacam biawak (الضَّبُّ) dan mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau menjawab:

لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيَّ

“Tidak. Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, maka aku jijik padanya.”

Khalid berkata, “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat kepadaku.”[6]

Tindakan Khalid dan para sahabat yang menikmati daging tersebut, disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak menyanggahnya. Keengganan beliau memakannya itu disebabkan karena jijik.

Contoh lain adalah diamnya beliau terhadap wanita yang pergi keluar rumah, berjalan di jalanan pergi menuju masjid dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.

Adapun yang termasuk taqriir qauliyyah, yaitu apabila seorang sahabat berkata, “Aku berbuat demikian atau sahabat lainnya berbuat demikian” di hadapan Rasul, dan beliau tidak mencegahnya. Di samping adanya syarat, bahwa perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu tidak mendapat sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup, juga orang yang melakukan itu hendaknya orang yang taat kepada agama Islam. Sebab diamnya Nabi terhadap apa yang dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafiq, bukan berarti memberi persetujuan. Memang seringkali Nabi mendiamkan apa-apa yang dilakukan oleh orang munafiq, lantaran beliau tahu, banyak benar petunjuk-petunjuk yang tidak memberi manfaat padanya.

[4] Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah (hasrat) Rasulullah

Sifat-sifat dan keadaan beliau yang termasuk unsur Hadits, adalah:

    a.    Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli sejarah, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmani beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anh sebagai berikut:

كان رسول الله أحسن الناس وجها وأحسنهم خلقا, ليس بالطويل ولا بالقصير

    “Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras muka dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek.” [7]

    b.    Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau adalah seperti apa yang dikatakan oleh Qais bin Mahramah radhiyallahu anh:

ولدت أنا ورسول الله عام الفيل

    “Aku dan Rasulullah dilahirkan pada tahun gajah.”[8]

    c.    Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisir. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dikala Rasulullah berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap ke Nabi seraya berkata, “Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah berkata, “Tahun yang akan datang, insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan.”[9]

Tetapi beliau tidak menjalankan puasa di tahun depan, disebabkan beliau telah wafat.

Menurut Imam Syafi’I dan rekan-rekannya, menjalankan himmah tersebut disunnahkan, karena ia termasuk salah satu bagian dari sunnah, yakni: sunnah hammiyyah.

Asy-Syaukaany berpendapat bahwa yang benar tidaklah demikian, yakni ia tidak termasuk sunnah. Sebab hamm itu hanya melulu kehendak hati yang belum dilaksanakan dan tidak termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dikerjakan atau ditinggalkan.

Ringkasnya menurut definisi yang terbatas yang telah dikemukakan oleh mayoritas Ahli Hadits tersebut di atas, bahwa pengertian Hadits itu hanya terbatas kepada segala sesuatu yang di-marfu’­-kan (disandarkan) kepada Nabi Muhammad saja. Sedang segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’iin, tidak termasuk hadits.

Dengan memperhatikan macam-macam unsur hadits dan manakah yang harus didahulukan mengamalkannya bila ada pertentangan antara unsur-unsur tersebut, mayoritas Ahli Hadits membagi hadits berturut-turut kepada:

    a.    Sunnah Qauliyyah

    b.    Sunnah Fi’liyyah

    c.    Sunnah Taqriiriyyah

    d.   Sunnah Hammiyyah


II. DEFINISI YANG LUAS

Definisi yang luas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Ahli Hadits, tidak hanya mencakup sesuatu yang di-marfu’-kan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga perkataan, perbuatan dan taqriir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’iy pun disebut Hadits. Dengan demikian hadits menurut definisi ini, meliputi segala berita yang marfu’, mauquuf dan maqthuu’, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Mahfuuzh:

“Sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang di-marfu’-kan kepada Nabi saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang mauquuf dan pada apa yang maqthuu’.”[10]


[1] Manhaj Dzawi An-Nadzar, Muh. Mahfudz At-Tarmusy, hal. 7
[2] H.R. Bukhary
[3] H.R. Bukhary
[4] H.R. Bukhary
[5] Q.S. Al-Ahzab: 50
[6] H.R. Bukhary dan Muslim
[7] H.R. Bukhary dan Muslim
[8] H.R. Tirmidzy
[9] H.R. Muslim dan Abu Daud
[10] Manhaj Dzawi An-Nadzar, At-Tarmusy, hal.7


-------------------------------------------------------

Sumber: Ikhtishar Musthalahul Hadits, Drs. Fathur Rahman

Ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment