Tuesday, February 5, 2013

Memahami Illat



Illat adalah

وصف في الأصل بني عليه حكمه ويعرف به وجود هذا الحكم في الفرع

“sifat yang terdapat pada hukum asal, dipakai sebagai dasar hukum, yang denganya dapat diketahui hukum cabang.”

Misalnya,  memabukkan adalah sifat yang ada pada khamr, yang dijadikan sebagai dasar haramnya khamr. Dengan illat itu, maka dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukkan. Jika seseorang berjual beli dengan orang lain dan di dalamnya terdapat sifat menganiaya yang dijadikan dasar untuk mengharamkan. Maka bisa diketahui bentuk sewa menyewa yang diharamkan.

Demikian itu merupakan pendapat ulama Ushul yang mengatakan:

العلة هي المعرف للحكم

“Illat adalah yang memberikan batasan terhadap hukum”

Dan illat juga disebut sebagai manaath (مناط) hukum dan sebabnya.


Hal-hal yang menjadi kesepakatan Jumhur Ulama adalah bahwa Allah tidak mensyariatkan hukum melainkan dengan maksud kemaslahatan hamba-Nya. Terkadang, kemaslahatan itu dapat menguntungkan mereka dan terkadang untuk menghindari bahaya. Karenanya, motivasi pembentukan syara’ iadalah mengambil manfaat atau menghindarkan bahaya bagi umat manusia (جلب منفعة للناس أو دفع ضرر عنهم). Itulah tujuan akhir pembentukan hukum, yang kemudian disebut sebagai hikmah al-hukm (حكمة الحكم) .

Oleh karenanya, orang yang tidak sehat ketika bulan Ramadhan, diperbolehkan tidak melakukan puasa. Hal ini mengandung hikmah, menghindari bahaya. Adanya hak Syuf’ah kepada pihak perkumpulan atau kepada tetangga, ini pun mengandung hikmah menghindari bahaya. Kewajiban dilaksanakan hukum qishash kepada pelaku pembunuhan secara sengaja dan aniaya, mengandung hikmah pemeliharaan bagi kehidupan umat manusia. Kewajiban memotong tangan atas pencuri, mengandung hikmah pemeliharaan terhadap kekayaan manusia. Dibolehkannya mengadakan tukar menukar mengandung hikmah tidak adanya kesempitan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Ringkasnya, hikmah hukum syara’ adalah mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan.

Seseorang yang mendasarkan setiap hukum terhadap hikmah yang dikandung, dan mengaitkan hukum dengan hikam yang dikandung atau dikaitkn dengan tidak adanya hikam, ia termasuk orang yang terburu-buru (المتبادر). Sebab, hikmah adalah yang mendorong terbentuknya hukum itu. Namun, jika dilihat dari penyelidikan yang sesungguhnya, hikmah pembentukan suatu hukum itu terkadang merupakan sesuatu yang rahasia. Maksudnya, tidak bisa dijangkau indera manusia secara lahiriah, yang dengan sendirinya tidak bisa membuktikan wujud atau tidaknya hukum. Begitu pula tidak bisa begitu saja mendasarkan hukum atas hikmah atau mengkorelasikan adanya hukum didasarkan atas hikmah semata.

Begitu pula dalam hal meniadakan, misalnya bolehnya mengadakan tukar menukar mengandung hikmah hilangnya kesempitan mengenai kebutuhan manusia. Kebutuhan adalah sesuatu yang tersembunyi (خفي), dan tak dapat diketahui apakah tukar menukar itu lantaran kebutuhan atau lainnya. Juga mengenai nasab lantaran hubungan suami istri, hikmahnya adalah adanya hubungan kedua jenis yang bisa mengakibatkan hamilnya istri. Hal tersebut adalah sesuatu yang tersembunyi dan tak dapat diketahui. Terkadang hikmah itu merupakan sesuatu yang bersifat dugaan atau perkiraan (تقديري), yang dengan demikian kedudukan hukum di atas hikmah itu tidak pasti. Juga tidak pasti hubungan antara hukum dan hikmah dalam ada atau tidak adanya.

Misalnya, kebolehan berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi seorang yang menderita sakit. Hal ini mengandung hikmah menolak bahaya (دفع المشقة). Tetapi itu pun masih bersifat perkiraan dan tidak ada kepastian. Dengan demikian, lantaran hikma itu tersembunyi dalam hubungannya dengan pembentukan hukum, maka harus menganggap hal lain yang secara pasti dapat dijadikan dasar hukum atau ada hubungannya. Dan hal lain itu ada persesuaian dengan hikmah, yang berarti hal itu sebagai tempat dugaan hikmah, dan pendirian ukum didirikan di atasnya. Sasarannya adalah membuktikan hikmah bagi sesuatu yang tampak dan pasti, yang di atas hikmah itu hukum ditegakkan. Sebab hukum itu merupakan tempat dugaan bagi hikmah yang dikandungnya. Dan menegakkan hukum di atasnya itu lantaran untuk membuktikan hikmahnya. Inilah yang dimaksud dengan illat oleh ulama Ushul. Maka, perbedaan antara hikmah hukum dan illat-nya itu adalah yang memberi dorongan pembentukan hukum dan yang menjadi tujuan akhirnya adalah hukum syara’ untuk kemaslahatan manusia, sehingga pembentukannya harus sempurna dan menghilangkan mafsadah. Sedangkan illat hukum, ialah sesuatu yang pasti dan konkrit, yang dipakai sebagai dasar hukum dan dijadikan hubungan, ada atau tidaknya hubungan itu. Sebab, pembentukan hukum dan hubungan itu dapat membentuk hikmah pembentukan hukum.

Meng-qashar shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at bagi seorang musafir, mengandung hikmah meringankan dan menghilangkan keberatan (المشقة). Hikmahnya itu bersifat tidak pasti atau bersifat perkiraan dan dapat dijadikan dasar hukum. Karena, syara’ menganggap bepergian itu sebagai hubungan hukum (مناط الحكم)yang nyata dan pasti, yang merupakaan tempat dugaan penentuan hikmah. Sebab dalam bepergian itu terdapat berbagai kesulitan, maka meng-qashar shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at bagi musafir adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan. Dan itulah yang dijadikan illah dalam safar atau bepergian.

Memiliki hak syuf’ah bagi perkumpulan atau tetangga, mengandung hikmah menolak bahaya dari perkumpulan atau pertetanggaan itu. Hikmah ini pun bersifat tidak pasti atau perkiraan. Karenanya, perkumpulan atau tetangga itu dianggap sebagai hubungan hukum (مناط الحكم) lantaran masing-masingnya merupakan hal yang pasti dan nyata. Kemudian, menjadikan hikmah itu sebagai hubungan hukum  lantaran bisa diajadikan sebagai tempat dugaan (مظنة) terwujudnya hikmah hukum, sebab bahaya itu bisa menimpa perkumpulan atau tetangga. Hikmah memiliki hak syuf’ah itu adalah menolak bahaya, dan sebagai illat adalah perkumpulan dan hubungan tetangga.

Hukum syara’ didasarkan pada illat yang berhubungan dengan wujud maupun tidak, namun bukan pada hikmahnya. Hal ini berarti bahwa hukum syara’ itu dapat diketahui jika dijumpai illat-nya, walaupun hikmahnya tak nampak. Hukum itu tidak ada jika illat-nya tidak ada, walaupun hikmahnya dapat dijumpai. Sebab, hikmah itu tersembunyi di dalam sebagian hukum. Karena tidak pastinya sebagian hukum, maka tidak bisa dijadikan sebagai tanda wujud atau tiadanya hukum. Dengan demikian, ukuran beban taklif dan muamalah tidak bisa tegak, jika hukum-hukum itu dihubungkan dengan hikmahnya semata.

Syari’ yang bijaksana, ketika mengakui adanya masing-masing hukum berikut illat yang pasti dan nyata, maka wujud hikmah itu diduga dengan mengkaitkan hukum dengan hal-hal yang pasti, yang dijadikan sebagai hubungan hukum dengan illat-nya. Hal ini dimaksudkan agar beban takliif tak menyimpang dan sesuai, di samping urutan muamalah itu menjadi tertib dan diketahui sebab akibatnya. Mengenai tidak diketahuinya hikmah pada sebagian hukum, sebenarnya tidak berarti apa-apa dalam kaitannya dengan usaha meluruskan beban takliif dan pemerataan hukum (اطراد الأحكام). Karenanya, ulama Ushul berkesimpulan bahwa hukum syara’ itu, wujud dan tidak wujudnya berkembang bersamaan dengan illat, bukan bersamaan dengan hikmah. Dengan kata lain, hubungan hukum syara’ adalah tempat dugaan (مظنة) hukum syara’, dan bukan merupakan pusatnya (مئنة).

Seperti orang yang mengadakan perjalanan di bulan Ramadhan dibolehkan tidak berpuasa, lantaran terdapat illat tentang bolehnya tidak berpuasa, yakni bepergian, sekalipun bepergian itu belum tentu mendapatkan kesulitan. Orang yang mengadakan kongsi penjualan tanah (العقار), mempunyai hak untuk membeli tanah itu dengan menutup harga (شفعة). Hal ini lantaran ada illat istihqaaq , jika pihak pembeli tidak mengkhawatirkan adanya bahaya. Namun orang di luar kongsi atau perkumpulan penjualan tanah itu, dan bukan pula tetangga, ia tidak berhak membelinya dengan menutup harga karena ada beberapa sebab yang membahayakan pihak pembeli.

Orang yang sehat di bulan Ramadhan, dan tidak sedang safar, tidak boleh berbuka puasa, walaupun ia pekerja di sebuah camp atau galian tambang, kecuali jika ia berpuasa ia akan mendapatkan kesulitan yang membahayakan.

Seorang yang mendapatkan nilai ujian cukup maka ia akan lulus, walaupun ia tak mampu menyusun sebuah teori. Sedang orang yang tak mendapatkan nilai cukup dalam ujian, ia takkan lulus, sekalipun mampu menyusun teori keilmuan.

Selama hukum syara’ didasarkan pada illat bukan pada hikmahnya, maka menjadi keharusan bagi mujtahid untuk menggunakan cara kias agar dapat mempersamakan asal dan cabang dalam illat, bukan dengan hikmah. Juga suatu keharusan bagi Hakim untuk memutuskan hukum jika terdapat illat, tanpa mempertimbangkan segi hikmah. Karenanya, jika seorang Hakim memutuskan syuf’ah bagi selain orang yang ada dalam kongsi atau perkumpulan atau tetangga berdasarkan adanya bahaya yang menimpa pihak pembeli, hal itu merupakan suatu kesalahan. Tetapi jika ia meninggalkan hukum dengan cara memilih syuf’ah bagi perkumpulan atau tetangga berdasarkan tidak akan ada bahaya bagi pihak pembeli, hal tersebut juga merupakan kesalahan.

Namun demikian, pada sebagian hukum ternyata tidak ada illat-nya. Maka para fuqaha’ menetapkan bahwa penjualan yang dilakukan oleh seseorang karena terpaksa dianggap tidak sah, sebab terdapat llat, yaitu shiighah aqd namun tidak ada hukum tentang pemindahan hak milik (نقل الملكية). Dalam Undang-undang Dasar No. 25/1929, pasal 15 tertulis bahwa pengakuan nasab tidak akan diakui jika terdapat pengingkaran anak seorang istri, karena tidak pernah ada pertemuan antara suami istri sejak berlangsungnya akad nikah. Hubungan suami istri itu ada, tetapi tidak ada hukumnya tentang ketetapan nasab.

Jika seorang raja telah mencapai usia 21 tahun, tetapi terbukti bahwa ia tidak dewasa, maka kekuasaan tidak boleh berada di tangannya, walaupun ada illat untuk menerima kekuasaan, yakni hingga dewasa.

Pada dasarnya hkum-hukum itu terdapat contoh. Apa yang dijelaskan pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa illat yang nyata dan pasti itu hanya dijadikan sebagai dasar hukum karena illat adalah tempat dugaan hikmah, dan tempat dugaan itu menempati kedudukan pusat (المئنة). Namun demikian, jika terdapat dalil yang meniadakan illat yang nyata dan pasti itu sebagai tempat dugaan hikmah hukum, berarti dasar illat telah hilang dan illat itu sendiri tidak abadi. Karenanya, jual beli yang bersifat terpaksa meniadakan shiighah sebagai tempat dugaan saling merelakan, sekaligus menjadi bukti akan suatu kebutuhan. Dengan demikian, shiighah dari pihak yang terpaksa itu bukan illat. Begitu pula hubungan suami istri yang tak pernah bertemu sehak berlangsungnya akad nikah, tidak bisa menjadi tempat dugaan yang kuat. Jika istri itu telah hamil karena suaminya, juga bukan merupakan illat bagi tetapnya nasab. Begitu pula raja yang berusia 21 tahun, tidak selalu melahirkan asumsi bagi kemampuan dalam mengelola harta, jika memang ada indikasi ketidakdewasaan.

Suatu hal yang perlu diperhatikan, bahwa sebagian ulama Ushul telah menjadikan illah dan sebab sebagai persoalan yang sama, satu makna dan sama makna. Tetapi kebanyakan ulama Ushul tidak sependapat dengan anggapan itu. Menurut mereka masing-masing illat dan sebab mempunyai syarat/lambang hukum, yang dari masing-masing itu dapat dibentuk hukum di atasnya, sekaligus merupakan hubungan hukum dalam ada atau tidak adanya. Bagi para ahli hukum, hal itu mengandung hikmah dalam kaitannya dengan menjadikannya sebagai hubungan dasar hukum. Namun jika persesuaian dalam hukum itu terdiri dari hal-hal yang bisa dijangkau akal fikiran, maka sifat itu disebut illat atau bisa juga disebut sebab. Dan jika hal-hal itu tidak dijangkau akal fikiran, maka hanya bisa disebut sebab, tidak bisa disebut sebagai illat.

Dengan demikian, bepergian yang menjadikan bolehnya qashar shalat, empat rakaat menjadi 2 rakaat, ada illat, sekaligus sebab. Sedang terbenamnya matahari yang menunjukkan wahibnya melaksanakan shalat Maghrib, atau condongnya matahari ke barat menunjukkan wajibnya melaksanakan shalat Dzuhur, atau menyaksikan datangnya bulan Ramadhan yang menunjukkan wajibnya berpuasa, semuanya adalah sebab, bukan illat. Dengan kata lain, setiap illat adalah sebab, namun setiap sebab belum tentu illat.

Sumber: Ilm Ushuul Al-Fiqh, karya Abdul Wahhab Khalaf
dengan bantuan pengalihan bahasa oleh K.H. Masdar Helmy
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment