Saturday, March 2, 2013

Mengikuti Dalil Bukan Berarti Memboikot Pendapat Para Imam



Sebagian orang yang bertaklid kepada madzhab mengira bahwa ajakan untuk mengikuti dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak mengambil pendapat para imam yang bertentangan dengan keduanya; berarti tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak dan sama sekali tidak mengambil manfaat dari hasil ijtihad mereka.

Al-Allamah Al-Albany rahimahullah berkata:[1]

إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب، بل هو باطل ظاهر البطلان، كما يبدو ذلك جليًّا من الكلمات السابقات، فإنها كلها تدل على خلافه، وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينًا، ونصبها مكان الكتاب والسنة؛ بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع، أو عند إرادة استنباط أحكام جديدة لحوادث طارئة؛ كما يفعل متفقهة هذا الزمان، وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية، والنكاح والطلاق، وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ، والحق من الباطل، وإنما على طريقة «اختلافهم رحمة»! وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة- زعموا- وما أحسن قول سليمان التيمى، رحمه الله تعالى:
«إن أخذت برخصة كل عالم؛ اجتمع فيك الشر كله».

“Anggapan semacam ini sangat tidak benar bahkan jelas kebatilannya, seperti tampak dengan jelas dari keterangan sebelumnya. Semua keterangan yang lalu bertentangan dengan anggapan ini. Kami hanya menyerukan agar tidak menjadikan madzhab sebagai diin (agama) dan mensejajarkannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yakni menjadikan madzhab sebagai rujukan, jika terjadi permasalahan yang sedang berkembang, sebagaimana dilakukan oleh orang yang dianggap faqih pada zaman ini. Mereka menetapkan hukum-hukum baru mengenai Ahwal Syakhshiyyah (masalah-masalah perdata), nikah, cerai, dan selainnya, tanpa merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dari yang salah, yang hak dari yang batil. Tetapi hanya berdasarkan semboyan “perbedaan pendapat itu rahmat”. Mereka mencari-cari dispensasi hukum (rukhshah), memilih yang mudah, atau maslahat, menurut anggapan mereka.

Alangkah indahnya ungkapan yang dikemukakan oleh Sulaiman At-Taimy rahimahullah: “Jika Anda hanya mengambil semua dispensasi dari setiap ulama, berarti Anda telah mengumpulkan semua kejelekan untuk diri Anda”.”

Pernyataan tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr (II/91-92) kemudian ia memberikan komentarnya: “Setahuku ini merupakan ijma’ yang tidak diperselisihkan di kalangan ulama.”


Sikap hanya mengambil dispensasi inilah yang kami tolak, dan pendapat kami ini sesuai dengan ijma’ ulama.

Adapun mengambil pendapat para imam untuk mendapatkan faidah dari pendapat tersebut, dan untuk membantu dalam memahami aspek kebenaran dalam masalah yang diperselisihkan yang tidak ada ketetapannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau untuk memperoleh penjelasan, maka hal ini tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan mendorong untuk melakukannya; karena faidahnya bisa diharapkan oleh orang-orang yang menempuh jalan untuk mendapatkan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Allamah Ibnu Abdil Barr rahimahullah (II/172) berkata:

«فعليك يا أخي! بحفظ الأصول والعناية بها، واعلم أن من عنى بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن، ونظر في أقاويل الفقهاء- فجعلها عونًا له على اجتهاده، ومفتاحًا لطرائق النظر، وتفسيرًا لجمل السنن المحتملة للمعاني- ولم يقلد أحدًا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها على كل حال دون نظر، ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها، واقتدى بهم في البحث والتفهم والنظر، وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه، وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم، ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرءوا أنفسهم منه؛ فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح، وهو المصيب لحظه، والمعاين لرشده والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم.
ومن أعفَّ نفسه من النظر، وأضرب عما ذكرنا، وعارض السنن برأيه، ورام أن يردها إلى مبلغ نظره؛ فهو ضال مضل، ومن جهل ذلك كله أيضًا وتقحم في الفتوى بلا علم، فهو أشد عمى، وأضل سبيلاً»

“Wahai saudaraku, hendaknya Anda menghafal dan memperhatikan sumber-sumber pokok agama. Ketahuilah, orang yang bersungguh-sungguh menghafalkan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an serta pendapat-pendapat ahli fiqh, lalu menjadikannya sebagai sarana untuk melakukan ijtihad, membuka langkah untuk berfikir, dan mentafsirkan kalimat-kalimat umum yang mengandung beberapa pengertian yang ada dalam Sunnah Nabi, tidak membeo kepada seorang pun, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang layak bersikap sebagai ulama dalam menganalisa sunnah, mengikuti pola pikir mereka dalam melakukan kajian, pemahaman dan pemikiran, dan menghargai usaha mereka yang bermanfaat, memuji karena kebenaran kebanyakan pendapat mereka, tidak menyatakan dirinya selamat dari kesalahan; seperti para ulama terdahulu, berarti ia seorang penuntut ilmu yang berpegang teguh pada tradisi salafus shalih. Orang semacam ini benar langkahnya, terbantu dalam meluruskan cara berfikirnya, dan dialah yang disebut sebagai pengikut Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan petunjuk para sahabatnya.

Sebaliknya, orang yang enggan untuk mengkaji, menyimpang dari hal-hal yang kami sebutkan di atas, menentang hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pendapat (dirinya), dan mengaku sudah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri, adalah orang yang sesat lagi menyesatkan. Orang yang tidak mengetahui semua itu, dan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka ia lebih buta dan lebih sesat lagi.”

Penulis berkata: Peringatan-peringatan ini sudah cukup bagi penulis untuk berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta membuang segala pendapat yang bertentangan dengan keduanya, dan membantah segala perilaku taklid yang tidak ada dasar argumentasinya. Jika masih ada juga yang bersikukuh untuk melakukan taklid, maka kita katakan padanya, “Ibnu Abdil Barr dan ulama selainnya menukil suatu ijma’ bahwa orang yang bertaklid tidak tergolong ulama. Orang yang bertaklid tidak boleh menentang seorang mujtahid.” Jika ia mengatakan, “Tapi Anda bukanlah seorang mujtahid.” Kita jawab, “Sebagaimana disebutkan para ulama bahwa ijtihad itu bermacam-macam. Seorang mujtahid tidak harus berijtihad dalam setiap permasalahan. Dengan demikian, penentangan yang Anda lakukan tidak dapat diterima. Sebab tidak mungkin orang buta menghitung dirham.”


[1] Muqaddimah Shifat Shalaat An-Nabiy, hal. 69-70




Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiih Madzaahib Al-A'immah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
Penerjemah: Abu Ihsan Al-Atsary

Diambil dari kitab Shahih Fiqh Sunnah, Jilid I, Pustaka At-Tazkia


No comments:

Post a Comment