Sunday, March 17, 2013

FIQH SYAFI’I (01 - Thaharah) – 04 MACAM-MACAM AIR



Ada 4 macam air: suci lagi menyucikan, suci lagi menyucikan tapi makruh, suci tidak menyucikan, dan air najis.

1. Suci Menyucikan

Air yang masuk kategori “suci menyucikan” adalah air pada umumnya dan keadaannya masih seperti kali pertama diciptakan. Pengertian “pada umumnya” terlepas dari berapa lama air tergenang, bercampur dengan tanah atau bukan, serta sudah ditumbuhi teratai atau belum. Teratai adalah tumbuhan air yang terapung, berkembang biak pada air yang lama tergenang. Termasuk pula di dalamnya air yang berubah karena berada di tempat tertentu, atau melewati suatu lokasi tertentu. Misalnya, air yang berada atau melewati kawasan tanah berbatu bara. Semua ini tidak bisa menjadi patokan karena tidak mungkin menjaga air dari kondisi semacam itu.

Sucinya air mutlak berdasarkan hadits riwayat Bukhary dan lainnya dari Abu Hurairah. Seorang Arab Badui bangkit dan buang air kecil di masjid. Orang-orang pun ramai-ramai hendak menegurnya, tapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


" دَعُوهُ، وَهَريقُوا عَلى بَولِهِ سَجْلاً مِنْ ماءٍ ـ أَوْ ذَنُوباً مِنْ ماءٍ ـ فَإنَّما بُعُثُتْم مُسَيِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ "

“Biarkanlah dia. Sirami bekas air seninya dengan satu timba atau gerabah air. Kalian diutus untuk mempermudah, bukan diutus untuk mempersulit.” (H.R. Bukhary, no. 217)

Di dalam hadits ini disebutkan beberapa kata, berikut penjelasannya:

(ليقعوا به) bermakna ‘menegurnya secara lisan atau dengan tindakan’.
(سجلان) bermakna ‘ukuran air satu ember penuh’.

Perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menyirami bekas air seni si Badui dengan air menunjukkan bahwa air punya sifat menyucikan.

2. Suci Menyucikan Tapi Makruh

Air yang ‘suci menyucikan tapi makruh’ adalah yang dijemur di bawah sinar matahari. Ada 3 syarat untuk kemakruhannya:

a. Terletak di negeri tropis
b. Diletakkan di atas wadah berbahan non emas atau perak, seperti besi dan tembaga, serta semua bahan yang berbunyi jika diketuk (قابل للطرق)
c. Digunakan untuk tubuh manusia; atau hewan yang terkena penyakit sopak (البرص) seperti kuda.

Imam Syafi’i menukil sebuah riwayat dari Umar radhiyallahu anh yang menyebutkan bahwa ia tidak suka menggunakan air itu untuk mandi. Beliau menjelaskan,

ولا أكره الماء المشمس إلا من جهة الطب

“Aku tidak suka air yang dijemur hanya karena alasan kesehatan.”

Beliau juga meriwayatkan bahwa air itu menyebabkan timbulnya penyakit sopak, suatu penyakit kulit.

3. Suci Tak Menyucikan

Air ‘suci tak menyucikan’ ini ada 2 jenis:

Pertama, air bekas pakai bersuci, seperti air bekas mandi dan berwudhu.

Dalil bahwa air ini suci adalah riwayat yang dikemukakan oleh Bukhary dan Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anh bercerita, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang menjengukku ketika aku sakit parah sehingga tak sadarkan diri. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berwudhu dan menyiramkan air bekas wudhunya kepadaku.” (H.R. Bukhary, no. 191, dan Muslim, no. 1616)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentu tidak akan menyiramkan air bekas wudhunya pada Jabir apabila air tersebut tidak suci.

Adapun dalil bahwa air ini tidak dapat menyucikan adalah hadits riwayat Muslim dan perawi lain, dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

" لاَ يَغْتَسِلْ أَحدُكُمْ في المَاءِ الدَّاثِمِ ـ أي الراكد ـ وَهُوَ جُنُب "

“Janganlah salah satu dari kalian mandi junub dengan air yang tergenang.

Para sahabat bertanya, “Abu Hurairah, lalu kami harus bagaimana?” Ia menjawab, “Menciduknya.” (H.R. Muslim, no. 283)

Dalam hal ini, berwudhu sama hukumnya dengan mandi karena tujuannya sama: menghilangkan najis. Hadits di atas menunjukkan bahwa mandi dengan menceburkan diri ke dalam air yang tenang menyebabkan hilangnya fungsi menyucikan dari air tersebut. Sebab bila tidak, tentu Abu Hurairah tidak melarang penggunaannya. Namun, hadits ini harus dimaknai untuk air yang kadarnya sedikit, berdasarkan beberapa dalil lainnya.

Kedua, air mutlak yang telah bercampur dengan zat-zat suci lain (yang biasanya tidak terkandung dalam air) dan tidak mungkin lagi dipisahkan darinya. Keadaan ini menyebabkan air berubah sehingga tidak lagi dapat disebut sebagai air murni. Misalnya, air the dan rosella (العرقسوس). Berbeda jika zat suci itu memiliki sifat, warna, dan aroma yang sama dengan air, seperti air perasan mawar (ماء الورد). Air ini telah kehilangan ciri sebagai air murni dan dianggap sudah bercampur. Rasanya seperti jus delima (عصير الرمان), warnanya seperti air perasan anggur (عصير العنب), tapi aromanya seperti laadzin (اللاذن), yaitu kelembaban pada rambut dan janggut kambing yang digembalakan di tempat tumbuhnya qalsuus, tumbuhan untuk obat batuk atau sakit telinga.

Perubahan air biasanya sesuai dengan kadar benda yang tercampur ke dalamnya sehingga statusnya berubah menjadi ‘suci tapi tidak menyucikan’. Perubahan status sesuai pula dengan perubahan nama sehingga tidak dapat lagi disebut sebagai air murni, padahal syara’ menetapkan bahwa bersuci harus dengan air.

4. Air Mutanajjis

Air mutanajjis adalah air yang sudah kena najis. Ada dua jenis air mutanajjis.

Pertama, air yang kadarnya sedikit. Pengertiannya, air yang kapasitasnya kurang dari dua qullah. Begitu najis masuk ke dalamnya, air ini langsung disebut air mutanajjis –sekalipun najisnya sedikit dan ciri-cirinya sebagai air tidak berubah, seperti warna, aroma, dan rasa. Ukuran dua qullah adalah 500 liter Baghdad, yang setara dengan 192, 857 kg. Ukuran kubiknya, 1,25 hasta (panjang, lebar dan tinggi). Satu hasta yakni sepanjang dari ujung ke siku (orang dewasa).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ‘Aku mendengar ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang hukum air yang terletak di tanah tak bertuan, air lain yang diminum oleh binatang buas dan melata. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

" إذَا كَانَ الماءُ قلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَث "

Jika kadarnya dua qullah, tak mengandung najis.” Dalam riwayat Abu Daud berbunyi " فَإَّنهُ لا يَنْجُسُ " (Air itu tak bernajis). (H.R. Abu Daud, no. 65, Tirmidzy, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Pengertian hadits: apabila air kurang dari dua qullah, dihukum sebagai air nahis sekalipun tidak berubah.

Pengertian di atas didukung oleh hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

" إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَومِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ في الإنَاءِ حَتَّى يَغْسلها ثَلاَثاً فَإنَّهُ لاَ يدْرِي أَيْنَ بَاَتت يدُهُ "

Jika salah satu dari kalian bangun tidur, janganlah langsung mencemplungkan tangannya ke dalam wadah air sebelum membasuhnya 3 kali karena ia tidak tahu tempat tanggannya tadi malam.” (H.R. Muslim, no. 278)

Di dalam hadits ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang yang baru bangun tidur untuk langsung mencemplungkan tangannya ke air, khawatir tercampur dengan najis yang tak terlihat. Maklum, najis yang tak terlihat bisa membuat air berubah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tentu tidak melarang hal tersebut apabila dimasukkannya tangan ke dalam air tidak menyebabkannya terkena najis.

Kedua, air yang kadarnya banyak, yakni berkapasitas dua qulah atau lebih. Air ini tidak serta merta menjadi mutanajjis hanya dengan jatuhnya suatu najis ke dalamnya. Akan menjadi air mutanajjis, jika salah satu dari ketiga cirinya, yakni warna, rasa atau bau, mengalami perubahan terlebih dahulu. Dasarnya adalah ijma’ para ulama.

An-Nawawy mengungkapkan:

قال ابن المنذر: أجمعوا أن الماء القليل أو الكثير إذا وقعت فيه نجاسة، فغيرت طعماً أو لوناً أو ريحاً، فهو نجس.

“Ibnu Al-Mundzir  berpendapat, air dengan kadar yang sedikit ataupun banyak dan berubah rasa, warna, atau baunya karena tercampur najis, maka air tersebut menjadi air bernajis menurut ijma’ para ulama.” (Al-Majmu’, 2/160)

AIR UNTUK BERSUCI

Tidak semua dari keempat jenis air di atas dapat dipakai untuk bersuci; mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Sebagaimana Anda tahu, yang dapat menyucikan hanyalah jenis pertama dan kedua, walaupun jenis kedua makruh digunakan untuk fisik.

Adapun jenis air yang ketiga tidak bisa dipakai bersuci, sekalipun suci zatnya yang menyebabkannya tetap dapat dipakai untuk keperluan selain bersuci. Misalnya, keperluan minum, memasak, atau lainnya. Sementara itu, jenis air yang keempat, air mutanajjis, tidak bisa digunakan sama sekali.


Sumber: Al-Fiqh Al-Manhajy, Musthafa Al-Bugha, Musthafa Al-Khann dan Ali Asy-Syurbajy
Penerjemah: Misran, Lc
Diketik oleh Hasan Al-Jaizy dari buku Fikih Manhaji, Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i, Darul Uswah

No comments:

Post a Comment