Sunday, February 24, 2013

Persepsi Hamba Bukanlah Tolak Ukur



Allah berfirman:

{كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Pada umumya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya akan dicelakai oleh musuhnya. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu adalah lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun di akhirat.

Demikian pula, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.

Manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Penciptanya sendiri, adalah makhluk yang zhaluum (banyak berbuat aniaya) dan jahuul (banyak ketidaktahuannya), sebagaimana dinyatakan:
{إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًۭا جَهُولًۭا}

“Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh” (Q.S. Al-Ahzab: 72)


Maka dari itu, tidak sepantasnya menjadikan perasaan “suka” atau “tidak suka”, “cinta” atau “benci”, sebagai standar dalam menetapkan hal  itu adalah perintah dan larangan Allah bagi dirinya.

Dengan demikian, sesuatu yang paling bermanfaat bagi dirinya secara mutlak adalah mentaati Rabbnya, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan sesuatu yang paling berbahaya bagi dirinya adalah berbuata maksiat kepada Rabbnya, baik secara lahir ataupun batin. Apabila seorang hamba mentaati dan mengabdi kepada-Nya dengan ikhlas, maka segala hal yang dibencinya akan berbuah kebaikan. Sebaliknya, apabila dia tidak mentaati dan mengabdi kepada Rabbnya, maka segala yang disenanginya akan berbuah keburukan.

Jadi, siapa pun yang mengenal Rabbnya dengan benar, mengerti seluruh asma dan sifat-Nya, pasti akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa segala musibah dan cobaan yang tidak disukainya mengandung banyak maslahat dan manfaat yang tidak terfikirkan olehnya. Bahkan, terkadang kemaslahatan yang diperoleh hamba di dalam sesuatu yang dibencinya jauh lebih besar daripada kemaslahatan yang terkandung di dalam sesuatu yang disukainya.






Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

diketik ulang dari kitab Fawaidul Fawaid cetakan Pustaka Imam Syafi'i

No comments:

Post a Comment