Monday, February 4, 2013

IMAM ABU HANIFAH – Sanjungan Ulama Terhadapnya




Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang ahli fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu. Selain itu, dia juga terkenal dengan kewara’annya, banyak harta, sangat memuliakan dan menghormati orang-orang di sekitarnya, sabar dalam menuntut ilmu siang dan malam, banyak bangun malam, tidak banyak berbicara kecuali ketika harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara. Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran hukum dan tidak suka dengan harta para penguasa.”[1]

Ibnu Ash-Shabah menambahkan, “Jika ada masalah yang ditanyakan kepadanya, dia berusaha menjawabnya dengan hadits shahih dan menggunakannya sebagai dalil walaupun berasal dari sahabat dan tabi’in. Jika tidak ada, maka dia akan menggunakan qiyas. Dan dia adalah orang yang piawai dalam menggunakan qiyas.”[2]

Dari Abu Bakar bin Iyasy, dia berkata, “Saudara Sufyan, Umar bin Said meninggal dunia. Lalu kami melayatnya. Sesampai di sana, ternyata rumahnya telah sesak dengan para pelayat dan beberapa saudaranya. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Idris. Kemudian, Abu Hanifah datang dalam majelis itu, ikut berbaur dengan jamaah yang lain. Ketika Abdullah bin Idris melihat sang imam (Abu Hanifah), ia bergegas menghampirinya dan memeluknya. Setelah itu ia mempersilahkannya duduk di tempat duduknya, sedangkan ia sendiri duduk di sampingnya.”


Abu Bakar berkata, “Melihat itu aku sedikit tidak setuju (karena terlalu menghormatinya).” Ibnu Idris berkata, “Celaka kamu! Tidakkah kamu melihatnya?” Kemudian kami duduk hingga orang-orang selesai melayat dan pulang. Setelah sepi, aku lalu berkata pada Abdullah bin Idris, “Jangan beranjak dahulu, sampai kita tahu siapa dia (Abu Hanifah).” Aku berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku melihatmu tadi telah melakukan perbuatan yang memalukan dan tidak terpuji bagi kami dan teman-teman kami.” Dia berkata, “Apa kesalahanku?” Aku berkata, “Imam Abu Hanifah datang mendekatimu, lalu kau berdiri dan mempersilahkannya duduk di tempatmu. Kau melakukan perbuatan yang berlebihan. Perbuatan ini tidak terpuji menurut teman-teman kami.”

Kemudian ia berkata, “Apa yang kamu ingkari dari perbuatanku itu? Lelaki ini (Abu Hanifah) adalah orang yang berpengaruh dalam kebaikan intelektual. Kalaulah aku tidak berdiri karena umurnya, aku berdiri karena keahliannya di bidang fiqh. Kalaulah aku tak berdiri karena ilmu fiqhnya, aku berdiri karena kewara’annya.” Perkataan itu membungkam mulutku. Dan aku tak memiliki jawaban apapun.”[3]

Dari Abu Wahb Muhammad bin Mazaahim, dia berkata, “Aku pernah mendengar Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Aku telah melihat orang yang paling ahli dalam ibadahnya. Aku telah melihat orang yang paling wara’. Aku telah melihat orang yang paling banyak ilmunya. Aku telah melihat orang yang peling ahli dalam bidang fiqh. Adapun orang yang paling banyak ibadahnya adalah Abdul Aziz bin Abu Ruwwad. Orang yang paling wara’ adalah Al-Fudhail bin Iyadh. Orang yang paling banyak ilmunya adalah Sufyan Ats-Tsaury. Sedangkan, orang yang paling ahli dalam bidang fiqh adalah Imam Abu Hanifah.”

Kemudian dia berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang ahli dalam fiqh seperti dia."[4]

Dari Yahya bin Mu’in, dia berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang dapat dipercaya. Dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang telah dia hafal. Dia juga tidak berbicara tentang hadits kecuali yang telah dia hafal.”[5]

Dari Asy-Syafi’i, dia berkata, “Ada seseorang berkata kepada Malik, “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah?” Dia menjawab, “Ya! Aku melihat seorang lelaki yang kalau dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka akan kesampaian dengan kemampuan berhujjah yang dimilikinya.”[6]

Yazid bin Harun berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih sabar dan mampu menahan amarah dari Abu Hanifah.”

Dari Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, dia berkata, “Abu Hanifah sangat komitmen dengan Sunnah Rasulullah.”

Imam Asy-Syafi’I berkata, “Dalam ilmu fiqh, orang-orang (para ulama) adalah satu keluarga dengan Imam Abu Hanifah.”[7]

Adz-Dzahaby berkata, “Dia adalah orang yang paling cerdas di antara Anak Adam. Mampu menguasai ilmu fiqh, seorang ahli iadah, wara’ dan dermawan. Di samping itu dia juga tak mau menerima hadiah dari para pejabat pemerintahan.”[8]



[1] Tarikh Baghdad, 13/340
[2] Siyar A’lam An-Nubalaa, 6/399
[3] Tarikh Baghdad, 13/340
[4] Ibid, 13/340
[5] Siyar A’laam An-Nubalaa, 6/395
[6] ibid
[7] Al-Ibar, 1/164
[8] ibid

------------------------------------

dari Kitab Min A'laam As-Salaf, karya Syaikh Ahmad Fariid, dengan bantuan terjemahan di kitab 60 Biografi Ulama Salaf, cet. Pustaka Al-Kautsar.

Ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaizy





No comments:

Post a Comment